SEBAIK-BAIK MANUSIA ADALAH YANG BERMANFAAT BAGI ORANG LAIN (SESAMA MANUSIA)

Selasa, 20 Desember 2011

Hakekat Kurikulum dan Pengembangannya





Pengertian Kurikulum
Untuk mendapatkan rumusan tentang pengertian kurikulum, para ahli mengemukakan pandangan yang beragam. Dalam pandangan klasik, lebih menekankan kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran di suatu sekolah. Pelajaran-pelajaran dan materi apa yang harus ditempuh di sekolah, itulah kurikulum. George A. Beauchamp (1986) mengemukakan bahwa : “ A Curriculun is a written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school”. Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (1935) yang mengatakan bahwa kurikulum … to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers. Dipertegas lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (1974) yang mengatakan bahwa : “ …the curriculum has changed from content of courses study and list of subject and courses to all experiences which are offered to learners under the auspices or direction of school.
Untuk mengakomodasi perbedaan pandangan tersebut, Hamid Hasan (1988) mengemukakan bahwa konsep kurikulum dapat ditinjau dalam empat dimensi, yaitu:
  1. kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian, khususnya dalam bidang kurikulum dan pendidikan.
  2. kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide; yang didalamnya memuat tentang tujuan, bahan, kegiatan, alat-alat, dan waktu.
  3. kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dalam bentuk praktek pembelajaran.
  4. kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekwensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan, dalam bentuk ketercapaian tujuan kurikulum yakni tercapainya perubahan perilaku atau kemampuan tertentu dari para peserta didik.
Sementara itu, Purwadi (2003) memilah pengertian kurikulum menjadi enam bagian : (1) kurikulum sebagai ide; (2) kurikulum formal berupa dokumen yang dijadikan sebagai pedoman dan panduan dalam melaksanakan kurikulum; (3) kurikulum menurut persepsi pengajar; (4) kurikulum operasional yang dilaksanakan atau dioprasional kan oleh pengajar di kelas; (5) kurikulum experience yakni kurikulum yang dialami oleh peserta didik; dan (6) kurikulum yang diperoleh dari penerapan kurikulum.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.


Landasan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan teknologi..Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas keempat landasan tersebut.
1.Landasan Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti : perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
a.Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
b.Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
c.Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia ? Apa pengalaman itu ?
d.Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
e.Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu ? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.
2.Landasan Psikologis
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi“.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :
a.motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
b.bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
c.konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang;
d.pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang; dan
e.keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.
3.Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.

4.Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang
Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia bisa menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan.
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian..
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.
Sumber Bacaan
Daeng Sudirwo. 2002 Otonomi Perguruan Tinggi Hubungannya dengan Otonomi Daerah. Manajerial. Vol .01. No1:72-79
Deddiknas. 2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang
________. 2003. Penilaian Kelas; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2007
Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran.2002. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
Uyoh Sadulloh.1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek









Hubungan Teori Pendidikan dengan Kurikulum
Kurikulum memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum disusun dengan mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum dan teori kurikulum dijabarkan berdasarkan teori pendidikan tertentu. Nana S. Sukmadinata (1997) mengemukakan 4 (empat ) teori pendidikan, yaitu : (1) pendidikan klasik; (2) pendidikan pribadi; (3) teknologi pendidikan dan (4) teori pendidikan interaksional.
1.Pendidikan klasik (classical education),
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti Perenialisme, Essensialisme, dan Eksistensialisme dan memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik.
Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan proses ”penelitian”, melalui metode ekspositori dan inkuiri.
2.Pendidikan pribadi (personalized education).
Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.
Teori ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik. Pendidikan progresif dengan tokoh pendahulunya- Francis Parker dan John Dewey – memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh. Materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu, ia dapat memahami dan menggunakannya bagi kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli dalam metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran-pemikiran J.J. Rouseau tentang tabula rasa, yang memandang setiap individu dalam keadaan fitrah,– memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan.
Teori pendidikan pribadi menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum humanis. yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis),
3.Teknologi pendidikan,
Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya ada yang berbeda. Dalam tekonologi pendidikan, lebih diutamakan adalah pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama. Dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa data-data obyektif dan keterampilan-keterampilan yang yang mengarah kepada kemampuan vocational . Isi disusun dalam bentuk desain program atau desain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan bantuan media elektronika dan para peserta didik belajar secara individual. Peserta didik berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien tanpa refleksi. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat. Guru berfungsi sebagai direktur belajar (director of learning), lebih banyak tugas-tugas pengelolaan dari pada penyampaian dan pendalaman bahan.
Teknologi pendidikan menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum teknologis, yaitu model kurikulum yang bertujuan memberikan penguasaan kompetensi bagi para peserta didik, melalui metode pembelajaran individual, media buku atau pun elektronik, sehingga mereka dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar tertentu.
4.Pendidikan interaksional,
Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan bekerja sama dengan manusia lainnya. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi. Dalam pendidikan interaksional menekankan interaksi dua pihak dari guru kepada peserta didik dan dari peserta didik kepada guru. Lebih dari itu, interaksi ini juga terjadi antara peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai bentuk dialog. Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari fakta-fakta. Peserta didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi pendidikan interaksional yaitu filsafat rekonstruksi sosial.
Pendidikan interaksional menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu model kurikulum yang memiliki tujuan utama menghadapkan para peserta didik pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Peserta didik didorong untuk mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak (crucial) dan bekerja sama untuk memecahkannya.




















Kurikulum Berdasarkan Filsafat Behaviorisme
I. PENDAHULUAN
Kurikulum merupakan bagian dari sistem pendidikan yang tidak bisa dipisahkan dengan komponen sistem lainnya. Tanpa Kurikulum suatu sistem pendidikan tidak dapat dikatakan sebagai sistem pendidikan yang sempurna. Ia merupan ruh (spirit) yang menjadi gerak dinamik suatu sistem pendidikan, Ia juga merupakan sebuah idea vital yang menjadi landasan bagi terselenggaranya pendidikan yang baik. Bahkan, kurikulum seringkali menjadi tolok ukur bagi kualitas dan penyelenggaraan pendidikan. Baik buruknya kurikulum akan sangat menentukan terhadap baik buruknya kualitas output pendidiksan, dalam hal ini, peserta didik.
Dalam kedudukannya yang strategis, kurikulum memiliki fungsi holistik dalam dunia pendidikan; Ia memiliki peran dan fungsi sebagai wahana dan media konservasi, internalisasi, kristalisasi dan transformasi ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan nilai-nilai kehidupan ummat manusia.
Sebagai wahana dan media konservasi, kurikulum memiliki konstribusi besar dan strategis bagi pewarisan amanat ilmu pengetahuan yang diajarkan Allah SWT melalui para nabi dan rosul, para filosof, para cendikiawan, ulama, akademisi dan para guru, secara turun temurun, inter dan antar generasi melalui pengembangan potensi kognetif, afektif dan psikomotorik para muridnya. Sehingga ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan dalam kerangka menciptakan situasi kondusif, dinamis dan kostruktif tatanan dunia ini berlangsung secara kontinum.
Sebagai wahana dan media internalisasi, kurikuluim berfungsi sebagai alat untuk memahami, menghayati dan sekaligus mengamalkan ilmu dan nilai-nilai itu, dalam spektrum relitas kehidupan yang sangat luas dan universal, sehingga kehidupan ini memiliki kebermaknaan, dalam arti nilai guna dan hasil guna.
Kurikulum berperan dan berfungsi sebagai wahana dan media kristalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan, sebab manusia baik sebagai objek maupun subjek pendidikan dan kurikulum, tidak hanya dituntut mengerti, memahami, mengauasai, menghayati dan mengamalkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai itu, tetapi juga dituntut untuk memiliki concern dan commitment terhadap ilmu dan nilai-nilai itu. Sehingga pemilik ilmu pengetahuan dan nilai-nilai itu merasa memiliki (sense of belonging) dan merasa tanggungjawab (sense of responsibility) yang replektif terhadap diri dan lingkungannya, atas dasar amanat yang diembannya..
Lebih jauh, kurikuluim bukan hanya berfungsi sebagai wahana dan media konservasi, internalisasi dan kristalisai, tetapi Ia juga merupakan wahana dan media transformasi. Pemilik ilmu pengetahuan dan nilai-nilai, dituntut mempelopori, memimpin dan mendesain peradaban ummat manusia yang konstruktif, dinamis, produktif dan innovatif, serta mengawal, membimbing, membina, dan mengarahkan perubahan- perubahnya secara proaktif dan dedikatif melalui perubahn-perubahan peradaban yang semakin baik. Dalam konteks ini pula pemilik ilmu pengetauan adan nilai-nilai memerankan dirinya sebagai agent of social canges, agent of social responsibility, agent of innovation and agent of human invesment
II. KONSEP, LANDASAN, DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Konsep Kurikulum
Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktek pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata-mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Pandangan yang muncul sejak zaman Yunani kuna ini, dalam lingkungan tertentu masih dioakai hingga kini, sebagaimana pendapat Robert S. Zais (1976:7), “a recesourse of subject matters to be mastered”. Menurut pendapat ini, kurikulum identik dengan bidang studi.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa kurikulum merupakan pengalaman belajar, pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Caswell dan Cambell (1975), “…to be composed of all the experiences children have under the guidance of theachers”.  Ronald C Doll (1974:22), menggambarkan kurikulum telah berubah dari kontens belajar (isi) ke proses, dari skop yang sempit kepada yang lebih luas, dari materi ke pengalaman, baik di rumah, sekolah maupun lingkungan masyarakat, bersama guru atau tidak, ada hubungannya dengan pelajaran ataupun tidak, termasuk upaya guru dan fasilitas untuk mendorongnya. Meskipun, pemaknaan kurikulum demikian, mendapat kritik dari Mauritz Johnson (1967:130), menurutnya pengalaman hanya akan terjadi bila siswa berinteraksi dengan ligkungannya, interaksi seperti demikian bukan kurikulum tetapi pengajaran. Menurutnya, kurikulum hanya berkenaan dengan “… a structured series of intended learning outcomes”, hasil yang dicapai dari hasil belajar siswa. Oleh karena itu, perencaan dan pelaksanaan isi, kegiatan belajar mengajar, evaluasi termasuk pengajaran.
Mc Donald (1967:3) memandang kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran, yang terdiri dari empat komponen, yaitu: mengajar (kegiatan professional guru terhadap murid), belajar (kegiatan responsi siswa terhadap guru), pembelajaran (interaksi antara guru murid pada proses belajar mengajar) dan kurikulum (pedoman proses belajar mengajar).
Bauchamp (1968) menekankan kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran. Ia menegaskan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis dan sekaligus merupakan rencana pendidikan yang given di sekolah. Tetapi, kurikulum tidak hanya dinilai dari segi dokumen dan rencana pendidikan, karena ia harus memiliki fungsi operasional kegaiatan belajar mengajar, dan menjadi pedoman bagi pengajar maupun pelajar.
Hilda Taba (1962) berpendapat, kurikulum tidak hanya terletak pada pelaksanaanya, tetapi pada keluasan cakupannya, terutama pada isi, metode dan tujuannya, terutama tujuan jangka panjang, karena justeru kurikulum terletak pada tujuannya yang umum dan jangka panjang itu, sedangkan imlementasinya yang sempit termasuk pada pengajaran, yang keduanya harus kontinum.
Kurikulum, juga merupakan perwujudan penerapan teori baik yang terkait dengan bidang studi maupun yang terkait dengan konsep, penentuan, pengembangan desain, implementasi, dan evaluasiya. Oleh karna itu, ia merupakan rencana pengajaran dan sistem yang berisi tujuan yang ingin dicapai, bahan yang akan disajikan, kegiatan pengajaran, alat-alat pengajaran, dan jadwal waktu pengajaran. Sebagai suatu sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem organisasi sekolah yang menyangkut penentuan kebijakan kurikulum, susunan personalia dan prosedur pengembangannya, penerapan, evaluasi dan penyempurnaannya (Saodih, 2008:4-7).
Dalam konteks pendidikan Nasional, kurikulum adalah rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimiliki berdasarkan standar nasional, materi yang perlu dipelajari dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai kemampuan tersebut, dan evaluasi yang perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pencapaian kemampuan peserta didik, serta seperangkat peraturan yang berkenaan dengan pengalaman belajar peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya pada satuan pendidikan tertentu.
Dalam Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan lahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Rumusan ini lebih spesifik mengandung pokok – pokok pikiran, sebagai berikut:
  1. Kurikulum merupakan suatu rencana/perencanaan;
  2. Kurikulum merupakan pengaturan, yang sistematis dan terstruktur;
  3. Kurikulum memuat isi dan bahan pelajaran bidang pengajaran tertentu;
  4. Kurikulum mengandung cara, metode dan strategi pengajaran;
  5. Kurikulum merupakan pedoman kegiatan belajar mengajar;
  6. Kurikulum, dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan;
  7. Kurikulum merupakan suatu alat pendidikan.
Rumusan tersebut menjadi lebih jelas dan lengkap, karena suatu kurikulum harus disusun dengan memperhatikan berbagai faktor penting. Dalam undang-undang telah dinyatakan, bahwa: “Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.”
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penyusunan suatu kurikulum, ialah:
  1. Tujuan pendidikan nasional, dijabarkan menjadi tujuan-tujuan institusional, dirinci menjadi tujuan kurikuler, dirumuskan menjadi tujuan-tujuan instruksional (umum dan khusus), yang mendasari perencanaan pengajaran.
  2. Perkembangan peserta didik merupakan landasan psikologis yang mencakup psikologi perkembangan dan psikologi belajar;
  3. Mengacu pada landasan sosiologis dibarengi oleh landasan kultur ekologis.
  4. Kebutuhan pembangunan nasional yang mencakup pengembangan SDM dan pembangunan semua sektor ekonomi.
  5. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta budaya bangsa dengan multi dimensionalnya.
  6. Jenis dan jenjang pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya.
Rumusan kurikulum menunjukkan kecenderungan berubah, dari rumusan yang bertolak dari isi/materi course of studi menjadi pengertian yang lebih luas, yakni…as all the learning experiences under the aegis of the school (Hills 118). Perubahan menitikberatkan pada apa yang dikerjakan dan dipelajari di sekolah, dipengaruhi bukan semata-mata oleh mata ajaran yang diajarkan, melainkan bergantung pada tugas-tugas belajar yang disiapkan koherensi dan keseimbangan dalam keseluruhan program-sekolah, bagaimana siswa terlibat secara reflektif dalam kurikulum, nilai-nilai dan tujuan-tujuan para guru, yang berkaitan dengan cara mereka menilai belajar siswa dan menilai dirinya sendiri. Cara yang sederhana untuk mempertimbangkan kurikulum adalah melihat kurikulum dari 4 fase, yakni: isi (content), metode, tujuan (purpose) dan evaluasi.
Dalam perspektif ini, kurikulum sekolah keseluruhan (a whole school curriculum) bukan hanya sangat kompleks namun juga merupakan satu kesatuan yang ideal. Suatu sekolah juga memiliki a hidden curriculum’…the largely unintended effect of its social milieu, sedangkan the actual curriculum, yang ditafsirkan sebagai siswa mengalami secara aktual dan guru mengajarkan secara aktual, mungkin berbeda dengan apa yang direncanakan secara formal. Jurang antara curriculum-as-intention dan curriculum-in-use (atau in-transaction) mendasari kebutuhan mendasar dan kongkrit yang harus diperbuat dan dipelajari siswa di sekolah, yang dirancang dalam public curriculum. Masalahnya adalah bagaimana membuat suatu kurikulum yang efektif dan bermakna bagi publik luas. Ada 2 pendekatan yang dapat digunakan, yakni (1). Melihatnya sebagai suatu masalah riset terhadap pengajaran bukan sebagai perencanaan umum. Kurikulum dilihat sebagai suatu spesifikasi dari konten dan prinsip-prinsip untuk diinvestigasi dalam realita kelas; (2) Pendekatan kedua lebih menekankan pada kurikulum sebagai keseluruhan dan sebagai isi (intention), misalnya sebagai peta kebudayaan. Konsepsi integrative diterjemahkan menjadi analisis hambatan terhadap guru dan sekolah, dan mengaitkan teori kurikulum dengan strategi perubahan sosial jangka panjang.
Terdapat beberapa gagasan mengenai kurikulum, antara lain:
Pertama, Whole Curriculum. Istilah The Whole Curriculum, tidak bersinonim dengan curriculum dan cenderung digunakan untuk membedakan program sekolah yang menyeluruh seimbang dan koherensi dengan source study. Keputusan-keputusan mengenai the whole curriculum tergantung pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses sekolah jangka panjang diseleksi dari kebudayaan yang bermanfaat, dengan pola studi tertentu bagi semua siswa.
Konsep tersebut ada kaitannya dengan pernyataan, bahwa “Curriculum all the learning experience planned and guided by school”. Konsep ini mengandung dua cabang: berkenaan dengan lingkungan belajar total, pengembangan diri siswa yang ditransmisikan padanya; dan penempatan komponen subjects dalam konteks desain the whole curriculum. Konsep ini membantu mengenai cara the whole curriculum menyajikan ‘a selection from culture’, asumsi-asumsi tentang pengetahuan yang ditransmisikan dalam masyarakat. Dari perspektif ini dapat dipertanyakan dan diklarifikasi kontribusi pola-pola organisasi kurikulum, subject-based by tradition ke arah tujuan-tujuan persekolahan jangka panjang.
Kedua, Hidden Curriculum, gagasan ini merupakan suatu tantangan bagi perancang kurikulum. Hidden Curricu¬lum memuat kontradiksi terhadap kurikulum official (intended curriculum), karena merupakan kurikulum tak tertulis (Hargreaves, 1978). Kurikulum ini adalah hasil dari desakan yang memberikan efek tak diinginkan, untuk mempengaruhi orang lain agar menyetujui sesuatu yang diharapkan, melalui interaksi kelas upaya penyebarluasan pesan-pesan kultural mengenai tingkah laku sosial.
Ketiga, Komponen-komponen Kurikulum, kurikulum memiliki komponen-komponen yang berkaitan satu dengan yang lainnya, yakni : (1). Tujuan, (2), Materi, (3). Metode, (4). Organisasi, dan (5). Evaluasi. Komponen-komponen tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama menjadi dasar utama dalam upaya mengembangkan sistem pembelajaran.
Keempat, Peranan Kurikulum, kurikulum direncanakan secara sistematis, mengemban peranan penting bagi pendidikan, yakni: (1). Peranan konservatif, (2). Peranan kritis dan evaluatif, dan (3). Peranan kreatif. Ketiga peranan ini sama pentingnya dan antara ketiganya perlu dilaksanakan secara berkeseimbangan.
Kelima, Fungsi Kurikulum, sebagaimana dikemukakan Alexander Inglis (1978), menyatakan:
  1. Penyesuaian (the adjustive of adaptive function)
  2. Pengintegrasian (the integrating function)
  3. Peferensiasi (the differentiating function)
  4. Persiapan (the propaedeutic function)
  5. Pemilihan (the selective function)
  6. Diagnostik (the diagnostic function)
Keenam, Pendekatan Studi Kurikulum, mempertanyakan apa yang dipergunakan dalam pembahasan atau dalam penyusunan kurikulum tersebut. Penggunaan sesuatu pendekatan (approach) menentukan bentuk dan pola yang dipergunakan oleh kurikulum tersebut melalui empat pendekatan, yakni: mata pelajaran, interdispliner, integratif dan sistem.
Ketujuh, Proses Kurikulum, pada dasarnya merupakan suatu perangkat lengkap yang menjadi dasar bagi guru dalam membuat semua keputusannya di sekolah. Setiap guru memiliki kemampuan membentuk atau menyusun kurikulum berdasarkan suatu proses logis, dinilai terbaik pada saat disampaikan pada siswanya. Jika guru tidak berpedoman pada kurikulum, pengajarannya akan menimbulkan meragukan.
B. Landasan Filosofis Kurikulum
Pendidikan berperan sangat penting dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia, sebab pendidikan berpengaruh langsung kepada kepribadian ummat manusia. Pendidikan sangat menentukan terhadap model manusia yang dihasilkannya.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan, mempunyai kedudukan sentral; menentukan kegiatan dan hasil pendidikan. Penyusunannya memerlukan fondasi yang kuat, didasarkan atas hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Kurikulum yang lemah akan mengahasilkan manusia yang lemah pula.
Pendidikan merupakan interaksi manusia pendidik dan terdidik untuk mencapai tujuan pendidikan. Interaksi pendidik dan terdidik dalam pencapaian tujuan, bagimana isi, dan proses pendidikan memerlukan fondasi filosofis, agar interaksi melahirkan pengertian yang bijak dan perbuatan yang bijak pula. Untuk mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu dan berpengetahuan yang diperoleh melalui cara berfikir sistematis, logis dan mendalam, secara radikal, hingga keakar-akarnya. Upaya menggambarkan dan menyatakan suatu pemikiran yang sistematis dan komprehensif tentang suatu fenomena alam dan manusia disebut berfikir secara filosofis. Filsafat mencakup suatu kesatuan pemikiran manusia yang menyeluruh.
Pendekatan Ilmu dengan filsafat berbeda, ilmu menggunakan pendekatan analitik, mengurai bagian-bagian hingga bagian yang terkecil. Filsafat mengintegrasikan bagian-bagian hingga menjadi satu kesatuan yang menyeluruh dan bermakna. Ilmu berkaitan dengan fakta-fakta sebagaimana adanya, secara objektif dan menghindari subjektifitas. Filsafat melihat sesuatu secara das sollen (bagaimana seharusnya), faktor subjektif sangat berpengaruh. Tetapi filsafat dan ilmu memiliki hubungan secara komplenter; saling melengkapi dan mengisi. Filsafat memberikan landasan bagi ilmu, baik pada aspek ontologi, epistimologi, maupun aksiologinya.
Dalam konteks pendidikan, filsafat pendidikan merupakan refleksi pemikiran filosofis untuk mengatasi permasalahan pendidikan. Filsafat memberi arah dan metodologi terhadap praktik pendidikan, sebaliknya praktik pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan filosofis. Menurut Butler (1957:12), hubungan filsafat dengan filsafat pendidikan sebagai berikut: 1) Filsafat merupakan basik bagi filsafat pendidikan, 2) Filsafat merupakan bunga bukan batang bagi pendidikan, 3) filsafat pendidikan merupakan disiplin tersendiri yang memiliki hubungan erat dengan filsafat umum, meski bukan essensinya, 4) Fisafat dan teori pendidikan adalah satu.
C. Pengembangan Kurikulum
Pengembangan Kurikulum (curriculum development) adalah: the planning of learning opportunities intended to bring about certain desered in pupils, and assesment of the extent to wich these changes have taken piece (Audrey Nicholls & S. Howard Nichools).
Rumusan ini menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri siswa.
Sedangkan yang dimaksud kesempatan belajar (learning opportunity) adalah hubungan yang telah direncanakan dan terkontrol antara para siswa, guru, bahan peralatan, dan lingkungan dimana belajar yang diinginkan diharapkan terjadi. Ini terjadi bahwa semua kesempatan belajar direncanakan oleh guru, bagi para siswa sesungguhnya adalah “kurikulum itu sendiri”.
Pengembangan kurikulum adalah proses siklus, yang meliputi empat unsur, yakni:
  1. Tujuan: mempelajari dan menggambarkan semua sumber pengetahuan dan pertimbangan tentang tujuan-tujuan pengajaran, baik yang berkenaan dengan mata pelajaran (subject course) maupun kurikulum secara menyeluruh.
  2. Metode dan material: mengembangkan dan mencoba menggunakan metode-metode dan material sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan tadi yang serasi menurut pertimbangan guru.
  3. Penilaian (assesment): menilai keberhasilan pekerjaan yang telah dikembangkan itu dalam hubungan dengan tujuan, dan bila mengembangkan tujuan-tujuan baru.
  4. Balikan (feedback): umpan balik dari semua pengalaman yang telah diperoleh yang pada gilirannya menjadi titik tolak bagi studi selanjutnya.
Pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan sebagai satu disiplin ilmu perlu bahkan seharusnya mendapat perhatian secara khusus dan menempati kedudukan dan fungsi sentral dalam sistem pendidikan, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan secara multidimensional, sebagai berikut.
  1. Kebijakan nasional dalam rangka pembangunan nasional berkenaan dengan sistem pendidikan nasional.
  2. Kurikulum menempati kedudukan sentral.
  3. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan dengan kebutuhan pembangunan dan memenuhi keperluan sistem pendidikan.
  4. Kebutuhan, tuntutan, aspirasi masyarakat yang terus berubah.
  5. Tuntutan profesionalisasi dan fungsionalisasi ketenagaan.
  6. Upaya pembinaan disiplin ilmu.
Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, meliputi:
  1. Kurikulum disusun untuk mewujudkan sistem pendidikan nasional.
  2. Kurikulum pada semua jenjang pendidikan dikembangkan dengan pendekatan kemampuan.
  3. Kurikulum harus sesuai dengan ciri khas satuan pendidikan pada masing-masing jenjang pendidikan.
  4. Kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi dikem¬bangkan atas dasar standar nasional pendidikan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan.
  5. Kurikulum pada semua jenjang pendidikan dikembangkan secara berdiversifikasi, sesuai dengan kebutuhan potensi, dan minat peserta didik dan tuntutan pihak-pihak yang memerlukan dan berkepentingan.
  6. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan tuntutan pembangunan daerah dan nasional, keanekaragaman potensi daerah dan lingkungan serta kebutuhan pengembangan iptek dan seni.
  7. Kurikulum pada semua jenjang pendidikan dikembangankan secara berdiversifikasi, sesuai dengan tuntutan lingkungan dan budaya setempat.
  8. Kurikulum pada semua jenjang pendidikan mencakup aspek spiritual keagamaan, intelektualitas, watak konsep diri, keterampilan belajar, kewirausahaan, keterampilan hidup yang berharkat dan bermartabat, pola hidup sehat, estetika dan rasa kebangsaan.
Menurut Herrick ada tiga macam sumber kurikulum, yaitu pengetahuan, masyarakat serta individu yang dididik. Kurikulum sebagai desain pendidikan mempersiapkan pendidik¬an generasi muda bagi kehidupannya masa kini dan bagi masa yang akan datang. Karena kurikulum mempersiapkan anak bagi kehidupannya, maka baik isi maupun proses (Jack Wilton) kurikulum bersumber dan didasarkan atas hal-hal yang ada pada diri anak serta lingkungannya.
Herrick menyebutkan empat sumber penyesuaian kurikulum yaitu bidang pengajaran (pengetahuan), masyarakat, individu dan perkembangan teknologi, Ronald Doll (1976) juga mengemukakan dasar-dasar yang hampir sama, dengan menambahkan dasar filsafat dan sejarah. Menurut Doll ada empat dasar atau sumber penyusunan kurikulum yaitu, dasar filsafat dan sejarah, dasar psikologi, dasar sosial dan dasar ilmu pengetahuan.
Setiap guru bertanggung jawab melakukan perubahan-perubahan yang harus direncanakan melalui proses yang logis rasional dan valid dengan senantiasa berusaha merelevansikan pendidikan yang diberikannya dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Tanggung jawab ini pada gilirannya menuntut tingkat pengetahuan, keterampilan dan pengalaman agar mampu mengembangkan kurikulum secara terus menerus. Dalam rangka inilah maka setiap guru perlu mengalami pendidikan guru, mengikuti kegiatan pengembangan staf dan program inservice training. Konsep ini berlandaskan pada asumsi bahwa guru memiliki hak untuk memutuskan sendiri apa-aga yang akan diajarkannya dan bagaimana cara mengajarkannya. Namun demikian tetap dalam pola kurikulum yang telah digariskan sebagai frame of reference.
Terhadap perubahan kurikulum, umumnya para guru dapat dikategorikan menjadi tiga golongan. Pertama, para guru yang responsif terhadap kegiatan pengembangan kurikulum. Kedua, adalah para guru yang lebih menyukai mengikuti dengan baik dan patuh kurikulum. Ketiga adalah para guru yang menentukan isi kurikulum bergantung selera, atau minat dan kemampuan guru sendiri, sehingga kurikulum terus menerus ditambah, dilengkapi, yang mengakibatkan ketidakseimbangan dalam kurikulum.
Guru perlu memiliki sikap inovatif agar kurikulum senantiasa selaras dengan kebutuhan masyarakat, tetapi kurikulum lama dalam garis besarnya tak perlu segera ditinggalkan. Beberapa usaha pembaruan baik dilakukan dengan pertimbangan kurikulum yang sudah ada. Jadi peningkatan kemampuan yang profesional dari guru, agar mampu mengikuti perubahan dan belajar terus, kiranya merupakan kaharusan profesional, yang perlu dipersiapkan sejak awal dalam proses pendidikan guru.
D. Pengembangan Komponen Tujuan Kurikulum
Tujuan kurikulum merupakan sasaran yang hendak dicapai oleh suatu kurikulum. Karena itu tujuan dirumuskan sedemikian rupa dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti:
  1. Tujuan pendidikan nasional, karena tujuan.ini menjadi landasan bagi setiap lembaga pendidikan.
  2. Kesesuaian antara tujuan kurikulum dan tujuan lembaga pendidikan yang bersangkutan.
  3. Kesesuaian tujuan kurikulum dengan kebutuhan masyarakat atau lapangan kerja, untuk mana tenaga-tenaga akan dipersiapkan.
  4. Kesesuaian tujuan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini.
  5. Kesesuaian tujuan kurikulum dengan sistem nilai dan aspirasi yang berlaku dalam masyarakat.
Hal ini menjadi penting, jika kita ingat bahwa tujuan kurikulum pada gilirannya akan dijabarkan menjadi tujuan-tujuan yang lebih spesifik. Sebagai pedoman dalam merumuskan tujuan kurikulum mungkin ada baiknya kita menggunakan pandangan Bloom dkk. yang terkenal dengan “Taxonomy of Educational Objectives”. Domain-domain (wilayah) yang dikembangkan Bloom tersebut dapat kita jadikan sebagai alat untuk mengkategorikan tujuan kurikulum.  Kategori tersebut adalah sebagai berikut: (1) The Cognitif Domain2 (2)  The Affective Domain dan (3) The Psycomotor Domain
E. Pengembangan Komponen Belajar
Pandangan tentang belajar akan mendasari kurikulum yang akan dilaksanakan. Kurikulum pada hakikatnya merupakan suatu program belajar yang dengan sengaja dan berencana untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam hubungan itu ada beberapa prinsip belajar yang dapat kita jadikan pegangan, yakni:
  • Belajar senantiasa bertujuan.
  • Belajar berdasarkan kebutuhan dan motivasi siswa.
  • Belajar berarti mengorganisasi pengalaman
  • Belajar memerlukan pemahaman.
  • Belajar bersifat keseluruhan (utuh atau umum), di samping khusus.
  • Belajar memerlukan ulangan dan latihan.
  • Belajar memperhatikan perbedaan individual.
  • Belajar harus bersifat kontinu (ajeg).
  • Dalam proses belajar senantiasa terdapat hambatan-hambatan.
  • Hasil belajar adalah dalam bentuk perubahan perilaku siswa secara menyeluruh.
Prinsip-prinsip belajar tersebut umumnya telah menjadi kesimpulan semua ahli psikologi belajar. Karena itu prinsip-prinsip ini perlu dipertimbangkan dalam perencanan kurikulum.
F. Pengembangan Komponen Siswa (Subjek Didik)
Proses perencanaan kurikulum senantiasa mempertimbangkan sikap yang akan menerima kurikulum itu. Berhasil tidaknya suatu kurikulum banyak tergantung pada kesesuaian isi kurikulum dan pihak yang menyerapnya. Pengakuan pendidik terhadap anak sebagai individu yang sedang berkembang, yang memiliki potensi untuk berkembang, yang berbeda satu sama lainnya secara individual, yang mampu bereaksi dan berinteraksi, yang mampu menerima, yang kreatif, dan berusaha menemukan sendiri, semuanya menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun kurikulum.
Pandangan tentang siswa juga sangat berpengaruh terhadap penentuan strategi instruksional di kelas. Bahkan patut pula diperhatikan, bahwa antara siswa satu sama lainnya dalam kelompok/kelas yang sama sudah tentu berbeda-beda, baik secara horisontal maupun secara vertikal. Kenyataan ini membawa implikasi yang jauh terhadap pembinaan dan pengembangan kurikulum dan strategi belajar-mengajar.
G. Pengembangan Komponen Kemasyarakatan
Kurikulum harus mempertimbangkan masyarakat dalam semua aspek, sesuai dengan sistem kepercayaan, sistem nilai, sistem kebutuhan yang terpadu dalam masyarakat. Kurikulum harus sejalan dengan tuntutan dalam pembangunan. Kurikulum harus memberikan andilnya dalam membentuk tenaga pembangunan yang kreatif, kritis dan inovatif, yang terampil dan produktif.
Untuk mengetahui keinginan, kebutuhan, tuntutan, masalah, aspirasi masyarakat, sebaiknya dilakukan survei dokumenter dan lapangan. Kita dapat memperoleh gambaran tentang aspirasi masyarakat yang sedang berkembang dewasa ini dan lingkungan tertentu seperti: keluarga, masyarakat desa, masyarakat kota, kelompok-kelompok sosial tertentu, dan jika perlu dapat pula diperoleh dari kelompok masyarakat yang tergolong sektor “informal” (tuna karya, tuna wisma, tuna susila, dan sebagainya).
H. Pengembangan Komponen Organisasi Materi Kurikulum
Materi/isi kurikulum yang disusun adalah untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, bahwa kurikulum yang direncanakan itu seharusnya mengikuti pola organisasi tertentu dengan kriteria kurikulum yang dapat dijadikan pedoman, yakni:
  • Kriteria dalam hubungan dengan tujuan pendidikan.
  • Kriteria sehubungan dengan sifat siswa.
  • Kriteria yang bertalian dengan proses pendidikan.
Bentuk organisasi kurikulum yang akan dipergunakan juga hendaknya memperhatikan beberapa faktor, yakni: urutan bahan pelajaran, ruang lingkup dan penempatan bahan pelajaran. Kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran, urutan bahan, ruang lingkup dan penempatannya disesuaikan dengan karakteristik masing-masing mata pelajaran tersebut.
Kurikulum yang berkorelasi umumnya tersusun dalam bentuk bidang studi {broadfield) urutan pokok bahasan didukung oleh sejumlah bahan dari mata pelajaran yang tercakup dalam bidang studi tersebut.
Kurikulum terintegrasi pada unit-unit pengajaran, yang masing-masing unit didukung oleh sejumlah mata pelajaran atau bidang studi. Tiap unit merupakan suatu masalah yang luas dan perlu dipecahkan, dan pemecahannya membutuhkan bahan dari setiap bidang studi. Itu sebabnya, urutan bahan, ruang lingkup dan penempatan bahan untuk setiap unit harus dirancang berdasarkan kebutuhan unit dan sistem instruksional yang dilaksanakan. Dengan demikian, masing-masing bentuk kurikulum tersebut harus memperhatikan karakteristik materi yang terkandung pada unsur-unsur pendukungnya.
III. KURIKULUM BERBASIS BEHAVIORISTIK
A. Dasar Psikologis Kurikulum
Manusia berbeda dengan makhluk lainnya karena kondisi psikologisnya yang membuat manusia maju. Menurut Saodih (2008:45), kondisi psikologis merupakan karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai individu yang dinyatakan dalam berbagai bentuk prilaku dalam interaksi dengan lingkungannya. Prilaku kognetif, afektif, psikomotorik merupakan manifestasi karakteristik kehidupan manusia.
Kondisi psikologis setiap individu berbeda karena perbedaan perkembangan, latarbelakang social budaya dan faktor-faktor yang mempengaruhinya tergantung kepada konteks, peranan dan statusnya. Kondisi psikologis interaksi pendidikan, antara pendidik dengan terdidik harus sesuai, meskipun antara jenjang dan lingkungan pendidikan berbeda.
Tugas utama pendidik adalah membantu seluruh aspek perkembangan peserta didik. Melalui pendidikan, perkembangan peserta didik lebih tinggi dan lebih luas. Melalui usaha belajar, baik melalui proses peniruan, pengingatan, pembiasaan, pemahaman dan penerapan serta pemecahan masalah. Psikologi pengjaran memberi arah tentang tatacara dan proses pendidikan yang memberikan hasil optimal.
Psikologi perkembangan dan psikologi pembelajaran merupakan dua cabang psikologi pendidikan yang penting. Psikologi perkembangan menggambarkan pengetahuan individu diperoleh melalui studi yang bersifat longitudinal, cross sectional, psikoanalitik, sosiologik atau kasus. Longitudinal menekankan pada studi melalui pengamatan dan pengkajian, Cross sectional melihat ciri-ciri fisik dan mental, pola-pola perkembangan dan kemampuan serta prilaku. Studi analitik menekankan pada gangguan studi pada masa sebelumnya akan berpengaruh pada studi selanjutnya. Studi sosiologik menekankan pada tugas-tugas yang harus dihadapi di masyarakat sedangkan studi kasus hanya menekankan studi perkembangan anak dari kasus kasus tertentu.
Psikologi belajar, menekankan pada bagaimana individu belajar. Belajar merupakan perubahan tingkah laku yang terjadi melalui pengalaman karena berinteraksi dengan lingkungan dan sebagai reaksi atas situasi yang dihadapinya.
Menurut Gagne perubahan tersebut berkenaan dengan disposisi atau kapabilitas individu, “learning is a change in human disposition or capability, which can be retained, and which is not simply ascribable to the process of growth”. Hilgard dan Bower menembahkan bahwa perubahan itu karena individu berinteraksi dengan lingkungannya, sebagai reaksi terhadap situasi yang dihadapinya. Menurut mereka belajar adalah:
“The process by which an activity originates or is changed throught reacting to an encountered situation, provided that the characteristics of the change in activity cannot be explaned on the basis of native respone tendencies, maturation, or temporary states of the organism.”
B. Rumpun Teori Psikologi Belajar
Menurut Morris L. Bigge dan Maurice P. Hunt ada tiga keluarga atau rumpun teori belajar, yaitu teori disiplin mental, behaviorisme, dan Cognitive Gestalt Field.
Pertama, Teori Disiplin Mental. Menurut rumpun teori disiplin mental, dari kelahirannya atau secara herediter, anak telah memiliki potensi-potensi tersebut. Belajar merupakan upaya untuk mengembangkan potensi-potensi tertentu. Ada beberapa teori yang termasuk rumpun disiplin mental yaitu: disiplin mental theistic, humanistic, naturalisme, dan apersepsi.
  1. Teori disiplin mental theistic berasal dari psikologi Daya. Menurut teori ini individu atau anak mempunyai sejumlah daya mental seperti daya untuk mengamati, menganggap, mengingat, berpikir, memecahkan masalah, dan sebagainya.belajar merupakan proses melatih daya-daya tersebut. Kalau daya-daya tersebut terlatih maka dengan mudah dapat digunakan untuk menghadapi atau memecahkan berbagai masalah.
  2. Teori disiplin mental humanistic bersumber pada psikologi humanisme klasik dari Plato dan Aristoteles. Teori ini hampir sama dengan teori pertama bahwa anak memiliki potensi-potensi. Potensi-potensi perlu dilatih agar berkembang. Perbedaannya dengan teori disiplin mental theistic, teori tersebut menekankan bagian –bagian, latihan bagian, atau aspek tertentu. Teori disiplin mental humanistic lebih menekankan keseluruhan, keutuhan. Pendidikannya menekankan pendidikan umum (general education). Kalau seseorang menguasai hal-hal yang bersifat umum akan mudah ditransfer atau diaplikasikan kepada hal-hal lain yang bersifat khusus.
  3. Teori naturalisme atau natural unfoldment atau self actualization. Teori ini berpangkal dari psikologi naturalisme romamtik, dengan tokoh utamanya Jean Jacques rousseau. Sama dengan kedua teori sebelumnya bahwa anak mempunyai sejumlah potensi atau kemampuan. Kelebihan dari teori ini, berasumsi bahwa individu bukan saja mempunyai potensi atau kemampuan untuk berbuat atau melakukan berbagai tugas, tetapi juga memiliki kemauan dan kemampuan untuk belajar dan berkembang sendiri. Agar anak dapat berkembang dan mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya pendidik atau guru perlu menciptakan situasi yang permisif yang jelas. Melalui situasi demikian, ia dapat belajar sendiri dan mencapai perkembangan secara optimal.
  4. Teori belajar yang keempat adalah teori apersepsi, disebut juga herbartisme, bersumber kepada psikologi structuralisme dengan tokoh utamanya Herbart. Menurut aliran ini, belajar adalah membentuk masa apersepsi. Anak mempunyai kemampuan untuk mempelajari sesuatu. Hasil dari suatu perbuatan belajar disimpan dan membentuk suatu masa apersepsi, dan masa apersepsi ini digunakan untuk mempelajari atau menguasai pengetahuan selanjutnya, semakin tinggi perkembangan anak, semakin tinggi pula masa apersepsinya.
Kedua, rumpun atau kelompok teori belajar Behaviorisme yang biasa juga disebut S-R stimulus–respons. Kelompok ini mencakup tiga teori yaitu S-R Bond, Conditioning, dan Reinforcement, sebagaimana akan dijelaskan di bawah.
Ketiga, Cognitive Gestalt Field, terdiri dari:
  1. Teori belajar pertama dari rumpun ini adalah teori insight. Aliran ini bersumber dari psikology Gestalt Field menurut mereka belajar adalah proses mengembangkan insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi apabila individu menemukan cara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa belajar itu merupakan perbuatan yang bertujuan explorative, imajinative dan creative. Pemahaman atau insight merupakan citra dari atau perasaan tentang pola-pola atau hubungan. To state it differently, insight is the sensed way through or solution of a problematic situation…we might say that an insight is a kind of intelligent feel we get about a situation that permits us continue to strive actively to serve our purpose.
  2. Teori belajar Goal Insight berkembang dari psikologi configurationism. Menurut mereka, individu selalu berinteraksi dengan lingkungan. Perbuatan individu selalu bertujuan, diarahkan kepada pembentukan hubungan dengan lingkungan. Belajar merupakan usaha untuk mengembangkan pemahaman tingkat tinggi. Pemahaman yang bermutu tinggi (tingkat tinggi) adalah pemahaman yang telah teruji, yang berisi kecakapan menggunakan suatu objek, fakta, proses, ataupun ide dalam berbagai situasi, pemahaman tingkat tinggi memungkinkan seseorang bertindak inteligen, berwawasan luas, mampu memecahkan berbagai masalah.
  3. Teori belajar cognitive field bersumber pada psikologi lapangan (field psikology), dengan tokoh utamanya Kurt Lewin. Individu selalu beradadalam suatu lapangan psikologis yang oleh Lewin disebut life space. Dalam lapangan ini selalu ada tujuan yang ingin dicapai, ada motif yang mendorong pencapaian tujuan dan ada hambatan-hambatan yang harus diatasi. Perbuatan individu selalu terarah kepada pencapaian sesuatu tujuan, oleh karena itu sering dikatakan perbuatan individu adalah purposive. Apabila ia telah berhasil mencapai sesuatu tujuan maka timbul tujuan lain yang ingin dicapai dan berada dalam life space baru. Setiap orang berusaha mencapai tingkat perkembangan dan pemahaman yang terbaik, di dalam lapangan psikologisnya masing-masing. Lapangan psikologis terbentuk oleh interelasi yang simultan dari orang-orang dan lingkungan psikologisnya di dalam suatu situasi. Tingkah laku seseorang pada suatu saat merupakan fungsi dari semua faktor yang ada yang saling bergantung pada yang lain.
Istilah cognitive berasal dari bahasa latin “cognoscre” yang berarti ‘mengetahui (to know)’. Aspek ini dalam teori belajar cognitive field berkenaan dengan bagaimana individu memahami dirinya dan lingkungannya, bagaimana ia menggunakan pengetahuan pengetahuan dan pengenalannya serat berbuat terhadap lingkungannya. Bagi penganut cognitive field, belajar merupakan suatu proses interaksi, dalam proses interaksi tersebut ia mendapatkan pemahaman baru atau menemukan struktur kognitif lama. Dalam membimbing proses belajar, guru harus mengerti akan dirinya dan orang lain serta lingkungannya merupakan suatu kesatuan.
C. Falsafah Behavioristik
Falsafah behavioristik yang biasa juga disebut S-R stimulus–respons mencakup tiga teori yaitu S-R Bond, Conditioning, dan Reinforcement. Kelompok teori ini berasumsi bahwa anak atau individu tidak memiliki/membawa potensi apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan, apakah lingungan keluarga, sekolah atau masyarakat; lingkungan manusia, alam, budaya, religi yang membentuknya. Kelompok teori ini tidak mengakui sesuatu yang bersifat mental. Perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang dapat dilihat, diamati.
  1. Teori S-R Bond (Stimulus-Response) bersumber dari psikologi koneksionisme atau teori asosiasi dan merupakan teori pertama dari rumpun behaviorisme. Menurut konsep mereka, kehidupan ini tunduk kepada hukum stimulus-response atau aksi-reaksi. Setangkai bunga dapat merupakan suatu stimulus dan direspons oleh mata dengan cara meliriknya. Kesan indah yang diterima individu dapat merupakan stimulus yang mengakibatkan respons memetik bunga tersebut. Demikian halnya dengan belajar, terdiri atas rentetan hubungan stimulus respons. Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus respons sebanyak-banyaknya. Tokoh utama teori ini adalah Edward L.Thorndike ada tiga hukum belajar yang sangat terkenal dari Thorndike, yaitu law of readness, law of exercise or repetition dan law of effect (Bigge dan Thurst, 1980: 273). Menurut hukum kesiapan, hubungan dengan stimulus dan respon akan terbentuk atau mudah terbentuk apabila telah ada kesiapan pada system syaraf individu. Selanjutnya, hukum latihan atau pengulangan, hubungan dengan stimulus dan respon akan terbentuk apabila sering dilatih atau diulang-ulang. Menurut hukum akibat (law of effect), hubungan stimulus dan respon akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan.
  2. Teori kedua dari rumpun behaviorisme adalah conditioning atau stimulus response with conditioning. tokoh utama teori ini Watson, terkenal dengan percobaan conditioning pada anjing.belajar atau pembentukan hubungan dengan stimulus dan respons perlu dibantu dengan kondisi tertentu. Sebelum anak-anak masuk kelas dibunyikan bel, demikian terjadi setiap hari dan setiap saat pertukaran jam pelajaran. Bunyi bel menjadi kondisi bagi anak sebagai tanda memulai pelajaran di sekolah. Demikian juga dengan waktu makan pagi, siang, dan makan malam dikondisikan oleh bunyi jam atau jarum jam.
  3. Teori ketiga adalah reinforcement dengan tokoh utamanya C.L. Hull. Teori ini berkembang dari teori psikologi, reinforcement, merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori S-R Bond dan conditoning. Kalau pada teori conditioning kondisi diberikan pada stimulus maka pada reinforcement kondisi diberikan pada respon karena anak belajar sungguh-sungguh (stimulus) selain ia menguasai apa yang dipelajarinya (respon) maka guru memberi angka tinggi, pujian, mungkin juga hadiah. Angka tinggi, pujian, dan hadiah merupakan reinforcement , supaya pada kegiatan belajarnya akan lebih giat dan sungguh-sungguh.
Di dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali contoh reinforcement kita temukan seperti pemberian pujian, hadiah, bonus, insentif, piala, mendali, piagam penghargaan, kalpataru, adipura, lencana sampai dengan parasamya, dan bintang mahaputra. Disamping reinforcement positif seperti itu dikenal pula reinforcement negatif untuk mencegah atau menghilangkan suatu perbuatan yang kurang baik atau tidak disetujui masyarakat. Contoh reinforcement negatif adalah: peringatan, ancaman, teguran, sanksi, hukuman, pemotongan gaji, penundaan kenaikan pangkat, dsb.
Latar belajar teori behavioristis bersumber pada pandangan John Locke mengenai jiwa anak yang baru lahir, ialah jiwanya dalam keadaan kosong. Seperti meja lilin bersih, disebut tabularasa. Dengan demikian pengaruh dari luar sangat menentukan perkembangan jiwa anak, dan pengaruh luar itu dapat dimanipulasi (direatmen secara leluasa). Dari pandangan manusia menurut John locke tersebut, pendekatan belajar menjadi behavioristic elementaristic, atau pendekatan belajar behavioristic emperistic. Di samping itu ada pandangan manusia lain, ialah fenomena, jadi fenomologis, sehingga pendekatan belajar bercorak kognitif-totalistis, dasar psikologisnya adalah psikologi Gestalt.
Pendekatan behavioristic-elementaristic menganggap jiwa manusia itu pasif, yang dikuasai oleh stimulus-stimulus atau perangsang-perangsang dari luar yang ada di lingkungan sekitar. Oleh karena itu tingkah laku manusia dapat dimanipulasi, dapat dikontrol atau dikendalikan. Cara mengendalikan tingkah laku manusia mengontrol perangsang-perangsang yang ada dalam lingkungannya. Tingkah laku manusia mempunyai hukum-hukum seperti yang berlaku dalam hukum-hukum pada gelaja alam, umpanya hukum sebab akibat. Metode-metode kealaman dapat dipakai dalam tingkah laku manusia dengan sifat hubungan mekanistis.
Dari pendekatan behavioristik tersebut di atas diajukan rumus matematis = FL`tingkah laku itu adalah TLk, yakni bahwa tingkah laku itu merupakan fungsi lingkungan. Jika lingkungan berubah tingkah lakunya akan berubah juga. Jika kita menginginkan tingkah laku tertentu, kita ubah lingkungan sedemikian rupa sehingga dapat membentuk tingkah laku yang diinginkan. Jika tingkah laku kita beri symbol R dan lingkungan S, maka R = fS dimana R = respon; S =stimulus.
Ciri-ciri Teori Belajar Behavioristik
Untuk mempermudah mengenal teori belajar behavioristik dapat dipergunakan ciri-cirinya yakni
  1. mementingkan pengaruh lingkungan (environmentalistis)
  2. mementingkan bagian-bagian (elentaristis)
  3. mementingkan peranan reaksi (respon)
  4. mementingkan mekanisme terbentuknya hasil belajar
  5. mementingkan hubungan sebab akibat pada waktu yang lalu
  6. mementingkan pembentukan kebiasaan.
  7. ciri khusus dalam pemecahan masalah dengan “mencoba dan gagal’ atau trial and error.
Teori hubungan S-R tanpa persyaratan (without reinforcemen) termasuk dalam teori belajar behavioristis. Tokoh Watson dan Guthrie dipandang sebagai pengajar teori belajar hubungan S-R tanpa persyaratan, yang disebut juga teori kontiguitas. Dalam teori ini tidak memperhitungkan pengaruh variable yang menyenangkan. Menurut teori kontiguitas, faktor terbentuknya hubungan S-R cukup keadaan kontinue saja. Bilamana suatu S kontinue (dibuat ada bersama) dengan tingkah laku tertentu R. akan terbentuklah hubungan dalam urat syaraf. Teori belajar kontiguitas dapat dikatakan paling sederhana, sebab tidak memperhatikan efek dalam belajar.
J. B. Watson (1878-1958) mengadakan perubahan besar dalam teori dan praktek psikologi menurut pandangannya. Dengan pengalaman eksperimen….dalam maze (kotak eksperimen) dia menolak metode instrospeksi sebab tidak dapat dibuktikan. Watson mengadakan percobaan-percobaan belajar dengan hewan dan manusia. Sarjana ini percaya, bahwa tingkah laku dapat dapat diterangkan dengan terminology hubungan S-R dalam syaraf otak dalam karyanya: Psiokology as the Behavioristist Views lt. (1913).
Belajar menurut Watson adalah jika S dan R ada bersamaan dan kontigu, maka hubungannya akan diperkuat. Kekuatan hubungan S-R tergantung kepada frekuensi ulangan adanya S-R. Watson mementingkan hukum ulangan atau hukum latihan dalam belajar. Watson tidak menganggap penting Hukum efek Thorndike. Watson menolak hukum efek dari Thornike, sebab dianggap dasarnya mentalistik dan berdasar prinsip kenikmatan.
Hukum kedua yang dipententangkan oleh Watson adalah The Law of Recency (hukum kebaruan). Artinya respon yang baru akan diperkuat dengan ulangan hadirnya dari pada respon yang lebih awal. Dasar kegiatan belajar adalah dengan conditioning. Belajar adalah memindahkan respon lama terhadap stimuli baru.
Sumbangan Watson dalam perkembangan psikologi pendidikan antara lain, ialah:
  1. Mempunyai pengaruh besar dalam psikologi di USA.
  2. Mempopulerkan ajaran behaviorisme.
  3. Adanya tingkah laku, mesti ada hubungan syaraf di otak.
  4. Untuk menjelaskan belajar perlu mengerti fungsi otak.
  5. Menggerakkan studi dan tingkahlaku secara obyektif.
  6. Mempertimbangkan faktor lingkungan .
  7. Belajar adalah proses membentuk hubungan S-R.
  8. Banyak mendorong penelitian-penelitian eksperimen dengan conditoning di USA.
Tokoh kedua adalah E.R Guthrie (186-1959) yang mengembangkan teori belajar kontiguitas S-R di Universitas Washington. Menurut Guthrie, bahwa prinsip kontiguitas adalah kombinasi stimuli yang telah menghasilkan respon diteruskan sehingga stimulus yang dikontigukan tetap menghasilkan respon tadi. Guthrie menolak hukum ulangan yang dianut Watson.
Di dalam teori belajarnya, Guthrie berpendapat, bahwa organisme otot-otot dan pengeluaran getah kelenjar-kelenjar. Respon semacam itu disebut gerakan-gerakan. Guthrie mengatakan, suatu tindakan terdiri atas serentetan gerakan-gerakan yang diasosiasikan bersama dengan hukum kontiguitas. Guthrie menolak teori Thorndike yang mengatakan bahwa dasar respon adalah tindakan-tindakan dan bukan gerakan-gerakan.
Dalam proses-belajar, yang diasosiasikan adalah suatu stimulus dengan respon R, tepatnya adalah stimulus yang mengenai organ tubuh dan syarafnya (sebagai sensasi) dan kemudian menimbulkan respon tersebut. Eksperimen yang diadakan oleh Guthrie di Horton (1946) dengan kucing dalam sangkar.
Guthrie mengajukan prinsip-prinsip belajar, yakni :
  1. yang terpenting adalah prinsip persyaratan (conditioning).
  2. prinsip pengendalian persyaratan yakni respon akan dikendalikan jika respon lain timbul dengan adanya S-R asli.
  3. adanya persyaratan yang ditunda.
  4. Pengembangan (perbaikan) performance atau tindakan merupakan hasil praktek. Proses conditioning akan terjadi setelah percobaan pertama. Penguatan hubungan S-R adalah hasil dari ulangan (praktek) dan bukan karena peningkatan Stimulus.
Memang teori belajar Guthrie dipandang lebih sederhana sebab ditekankan kepada adanya stimulus dan respon yang nampak dan belum atau tidak memperhitungkan kegagalan dan hadiah (reinforcement). Dengan begitu terori tersebut tidak mendorong untuk mengadakan penelitian-penelitian menurut model Guthrie. Selain itu Guthrie tidak mengembangkan motivasi belajar, sebab stimulus sendiri sudah berarti motif.
Menurut teori kontiguitas, bahwa lupa dapat terjadi karena kegiatan hubungan S-R dipakai hal lainnya. Jadi lupa timbul karena ada interferensi atau gangguan pembentukan hubungan S-R dalam syaraf. Guthrie juga menganjurkan terjadinya transfer pengetahuan dari satu hal ke hal lain dengan latihan pada bidang khusus atau praktek pada bidang yang lebih luas.
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan
  1. Kurikulum merupakan centre of exellent dalam suatu system pendidikan yang berperan sebagai konservasi, internalisasi, dan kristalisasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya masyarakat.
  2. Kurikulum menuntut perumusan sistematik yang dapat dijangkau dengan prinsip-prinsip pengembangan melalui prosedur yang ditentukan berdasarkan disiplin ilmu yang terkait denganya.
  3. Kurikulum akan ajeg dan sempurna apabila memiliki dasar-dasar filosofis dan dasar-dasar psikologis yang kuat.
  4. Behavorisme sebagai salah satu bentuk landasan filosofis dan psikologis kurikulum atau pendidikan memiliki prinsip-prinsip yang relatif sederhana bermula dari pemikiran bahwa manusia sejak dilahirkannya seperti tabularasa. Sedangkan kemampuan akademik akan diapresiasi oleh anak didik sesuai dengan prinsip stimulus dan respon, yang memiliki perbedaan dengan dasar filsafat dan psikologi pembelajaran dari aliran pemikiran lainnya.
B. Implikasi
Kurikulum berbasis filsafat behaviorisme tidak sepenuhnya dapat diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional, terlebih lagi pada jenjang pendidikan usia dewasa. Tetapi behaviorisme dapat diterapkan untuk metode pembelajaran bagi anak yang belum dewasa. Karena hasil eksperimentasi bihavioristik cenderung mengesampingkan aspek-aspek potensial dan kemampuan manusia yang dilahirkan. Bahkan bihaviorisme cenderung menerapkan sistem pendidikan yang berpusat pada manusia baik sebagai subjek maupun objek pendidikan yang netral etik dan melupakan dimensi-dimensi spiritualitas sebagai fitrah manusia. Oleh karena itu behaviorisme cenderung antropomorfis skularistik.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham Maslow, 2004, Psikologi Sains. Teraju. Jakarta.
Abudin Nata, 2008, Manajemen Pendidikan-Mengatasi Pendidikan Islam di Indonesia. Media Grafika. Jakarta.
_____________, 2005, Filsafat Pendidikan Islam. Gaya Media Pratama. Jakarta.
Assegaf Abdurrachman & Suyadi, 2008, Pendidikan Islam Madzhab Kritis-Perbandingan Teori Pendidikan Timur dan Barat. Gama Media. Yogyakarta.
Beane, James A., et. all, 1986, Curriculum Planning and Development. Boston. Allyn and Bacon, Inc.
Fudyartanto, Ki RBS., 2002, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Global Pustaka Utama. Jogjakarta.
Oemar Hamalik, 2008, Manajemen Pengembangan Kurikulum. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
_____________, 2008, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Purwanto, M. Ngalim, 2007, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Schubert, William H., 1986, Curriculum: Perspective, Paradigm and Possibility. New York: McMillan Publishing Co.
Sukmadinata, Nana Saodih, 2008, Pengembangan Kurikulum-Teori dan Praktek. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Syaiful Sagala, 2007, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Alfabeta. Bandung.
Tim Dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), 2009, Manajemen Pendidikan. Alfabeta. Bandung.
Uyoh Sadulloh,  2007, Pengantar Filsafat Pendidikan. Alfabeta. Bandung.
M. Ihsan Dacholfany dan Ayi Sofyan. 2009 KURIKULUM BERDASARKAN FILSAFAT BEHAVIORISME. Tugas Makalah Bidang Studi Manajemen Kurikulum Program S3 PPS Universitas Islam Nusantara Dari Dosen: Prof. Dr. Harry Soedrajat






Komponen-Komponen dalam Kurikulum
Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi, pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.
A. Tujuan
Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
  1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.
  2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
  3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.)
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”..
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
  1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
  2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
  3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler; yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan pendidikan.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh tujuan kurikuler yang berkaitan dengan pembelajaran ekonomi, sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar :
1Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP/MTS
  • Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
  • Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
  • Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
  • Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
2. Tujuan Mata Pelajaran Ekonomi di SMA
  • Memahami sejumlah konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa dan masalah ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi dilingkungan individu, rumah tangga, masyarakat, dan negara
  • Menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep ekonomi yang diperlukan untuk mendalami ilmu ekonomi
  • Membentuk sikap bijak, rasional dan bertanggungjawab dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan ilmu ekonomi, manajemen, dan akuntansi yang bermanfaat bagi diri sendiri, rumah tangga, masyarakat, dan negara
  • Membuat keputusan yang bertanggungjawab mengenai nilai-nilai sosial ekonomi dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam skala nasional maupun internasional
3. Tujuan Mata Pelajaran Kewirausahaan pada SMK/MAK
  • Memahami dunia usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan masyarakat
  • Berwirausaha dalam bidangnya
  • Menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya
  • Mengaktualisasikan sikap dan perilaku wirausaha.
4. Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMK/MAK
  • Memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
  • Berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
  • Berkomitmen terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
  • Berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional, dan global.
Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran dari setiap mata pelajaran.
Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan lebih menggambarkan tentang “what will the student be able to do as result of the teaching that he was unable to do before” (Rowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan pembelajaran, yakni :
  1. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan : (a) menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati; (b) menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan (c) memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerja sama.
  2. Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk: (a) ketepatan atau ketelitian respons; (b) kecepatan, panjangnya dan frekuensi respons.
  3. Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta didik berupa : (a) kondisi atau lingkungan fisik; dan (b) kondisi atau lingkungan psikologis.
Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting.. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya.
Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif.
Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif.
Pengembangan kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama.
Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara bereimbang. .
B. Materi Pembelajaran
Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :
  1. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
  2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
  3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
  4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
  5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
  6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
  7. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
  8. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
  9. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
  10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi pengembangam kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran,. Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu., maka dalam prakteknya cenderung digunakan secara eklektik dan fleksibel..
Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan hal-hal berikut :.
  1. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.
  2. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
  3. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
  5. Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi, Nana Syaodih Sukamadinata (1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan materi pembelajaran, yaitu :
  1. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.
  2. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-akibat.
  3. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi.
  4. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi pembelajaran dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis materi pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.
  5. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
  6. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan masalah; (b) penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes.
  7. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
  8. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai menganalisis tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik, berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.
CStrategi pembelajaran
Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.
Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri.
Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belakangan ini mulai muncul konsep pembelajaran dengan isitilah PAKEM, yang merupakan akronim dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Oleh karena itu, dalam prakteknya seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk dapat melaksanakan proses belajarnya secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.
D. Organisasi Kurikulum
Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:
  1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
  2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
  3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
  4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
  5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
  6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.
Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran estetika; dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri.
E. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”
Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu “acknowledge presence of value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and integration.”
Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori, interview, catatan anekdot dan sebagainya
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.
Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. (disarikan dari Nana Syaodih Sukmadinata, 1997)
Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan tiga pendekatan dalam evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan penelitian (analisis komparatif); (2) pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan campuran multivariasi.
Di samping itu, terdapat beberapa model evaluasi kurikulum, diantaranya adalah Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai berikut :
  1. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
  2. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
  3. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
  4. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih panjang.
Sumber Bacaan :
Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang
________. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Model Pelatihan dan Pengembangan Silabus; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Pengelolaan Kurikulum di Tingkat Sekolah; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Penilaian Kelas; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2007
Tim Pengembang MKDK. 2002.. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
Uyoh Sadulloh.1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek

Prinsip Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, didalamnya mencakup: perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur – unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.
Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum, dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum. Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengetengahkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok : (1) prinsip – prinsip umum : relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas; (2) prinsip-prinsip khusus : prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian. Sedangkan Asep Herry Hernawan dkk (2002) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu :
  1. Prinsip relevansi; secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen-komponen tersebutmemiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistomologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosilogis).
  2. Prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar bekang peserta didik.
  3. Prinsip kontinuitas; yakni adanya kesinambungandalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antar jenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
  4. Prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara optimal, cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.
  5. Prinsip efektivitas; yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang harus dipenuhi, yaitu :
  1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
  2. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
  3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
  4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
  5. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
  6. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
  7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemenuhan prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara penerapan satu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum sebelumnya, yang justru tampaknya sering kali terabaikan. Karena prinsip-prinsip itu boleh dikatakan sebagai ruh atau jiwanya kurikulum
Dalam mensikapi suatu perubahan kurikulum, banyak orang lebih terfokus hanya pada pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum . Padahal jauh lebih penting adalah perubahan kutural (perilaku) guna memenuhi prinsip-prinsip khusus yang terkandung dalam pengembangan kurikulum.



Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu : (1) pendekatan top-down the administrative model dan (2) the grass root model.
1. The administrative model;
Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang paling lama dan paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan kurikulum datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya, membentuk suatu Komisi atau Tim Pengarah pengembangan kurikulum. Anggotanya, terdiri dari pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum. Selanjutnya administrator membentuk Tim Kerja terdiri dari para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, dan guru-guru senior, yang bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional menjabarkan konsep-konsep dan kebijakan dasar yang telah digariskan oleh Tim pengarah, seperti merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional, memilih sekuens materi, memilih strategi pembelajaran dan evaluasi, serta menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru-guru. Setelah Tim Kerja selesai melaksanakan tugasnya, hasilnya dikaji ulang oleh Tim Pengarah serta para ahli lain yang berwenang atau pejabat yang kompeten.
Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut. Karena datangnya dari atas, maka model ini disebut juga model Top – Down. Dalam pelaksanaannya, diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.
2. The grass root model;
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan yang bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitas biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan kurikulum model grass root tampaknya akan lebih baik.
Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan the grass-root model. Kendati demikian, agar pengembangan kurikulum dapat berjalan efektif tentunya harus ditopang oleh kesiapan sumber daya, terutama sumber daya manusia yang tersedia di sekolah.
Sumber :
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran. 2002. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.


Perkembangan Mata Pelajaran dalam Kurikulum di Indonesia

Dalam sejarah penggunaan kurikulum di Indonesia setelah merdeka, ada sepuluh kurikulum yang pernah dipakai yaitu kurikulum pasca kemerdekaan 1947, 1949, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan KBK yang disempurnakan menjadi kurikulum KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Pada setiap periode kurikulum yang pernah diberlakukan tersebut model konsep kurikulum yang digunakan, prinsip dan kebijakan pengembangan yang digunakan, serta jumlah jenis mata pelajaran berikut kedalaman dan keluasannya tidak sama.
Variabilitas kurikulum yang digunakan berimplikasi terhadap variabilitas penuangan mata pelajaran yang harus dipelajari. Secara umum bisa dijelaskan karena adanya substansi determinan atau landasan kurikulum yang digunakan tidak sama. Meskipun unsur-unsur umum determinan kurikulum itu sama yaitu faktor filosofis, sosiologis, psikologis, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun pada setiap masa memiliki suatu kecederungan tersendiri yang menjadi warna dominan dari kurikulum itu sendiri, sebagai alat pencapaian tujuan pendidikan. Perbedaan ini juga turut menentukan mata pelajaran apa saja yang harus dipelajari, juga prinsip-prinsip cara mempelajari mata pelajaran yang ada dalam struktur kurikulum yang bersangkutan.
Landasan filosofis, berkaitan dengan pandangan hidup negara. Filosofis negara ini akan mengarahkan pada penentuan tujuan umum pendidikan nasional. Perbedaan filosofis negara, atau adanya perbedaan konsistensi pengamalan nilai-nilai filosifis akan mempengaruhi filsafat pendidikian dan filsafat kurikulum yang digunakan. Tentu ini pun akan mengarah pada susunan mata pelajaran yang harus dipelajari.
Landasan sosiologis, berkaitan dengan sistem nilai, norma, adat isitiadat, tata aturan bermasyarakat dan bernegara juga berpengaruh terhadap penggunaan sistem kurikulum. Dalam aspek sosiologis di dalamnya adalah sistem politik yang berlaku, ikut menentukan tentang apa yang harus dipelajari, kedalaman dan keluasannya, serta teknis pengembangannya.
Contoh ketika sistem politik negara menggunakan sistem sentralistik, maka pengembangan kurikulum didominasi oleh pemerintah pusat, kurang atau bahkan mungkin tidak melibatkan pemerintah daerah atau guru sama sekali. Namun ketika sistem politik berubah menjadi desetralisasi, kebijakan pengembangan kurikulum pun berubah, yang tadinya terpusat sebagian didesentralisasikan ke daerah (pemerintah daerah dan sekolah, guru).
Contoh lainnya, terdapat perbedaan kurikulum, jenis dan jumlah mata pelajaran antara negara yang demokratis dan negara yang tidak terlalu menonjolkan demokratis. Bahkan sesama negara demokratis pun masih terdapat variabilitas.
Determinan berikutnya yaitu unsur psikologis. Situasi kondisi sasaran kurikulum ikut mempengaruhi konsep dan model kurikulum. Akan terdapat perbedaan mata pelajaran, setidaknya tingkat kesulitan dan cakupannya, antara jenjang pendidikan satu dengan lainnya. Antara pendidikan normal dan pendidikan luar biasa.
Selain dari pada itu, pandangan psikologi atas bagaimana manusia belajar bermacam-macam, di antaranya ada behavioristik, kognitivistik, dan konstruktivistik. Ketiga jenis pandangan tersebut berbeda antara satu dengan yang lainnya. Penggunaan salah satu dari tiga pandangan atas belajar di atas, akan berpengaruh terhadap apa yang harus dipelajari dan bagaimana cara mempelajarinya.
Determinan terakhir yaitu bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan dan teknologi kurikulumnya itu sendiri. Kemajuan IPTEK akan melahirkan tuntutan untuk mempelajari IPTEK kontemporer. IPTEK kontemporer memiliki karakteristik tersendiri tentang bagaimana cara untuk mempelajarinya.
Uraian di atas, menjelaskan kepada kita bahwa perkembangan mata pelajaran dipengaruhi oleh model konsep kurikulum yang digunakan. Suatu jenis model kurikulum itu sendiri memiliki karakteristik disain (tujuan, materi, strategi, dan evaluasi) tersendiri.
Di bawah ini tabel perbandingan jurusan dan mata pelajaran yang hilang dan muncul pada kurikulum kurikulum 1964 sampai dengan KTSP.
Tabel 1 Perbandingan Jurusan dan Mata Pelajaranyang Hilang dan Muncul pada Kurikulum 1964 sampai dengan KTSP (Belen, 2007)
No.
Kurikulum
Jurusan yang hilang
Jurusan yang muncul
Mapel yang hilang
Mapel yang muncul
1
1964

Jurusan Budaya SMA

Prakarya
2
1968


Berhitung
Matematika
Pendidikan Kesehatan Keluarga
Kecakapan Khusus
3
1975
Jurusan Budaya SMA
SMA: Jurusan IPA, IPS, Bahasa. Jurusan Budaya menjadi jurusan bahasa
Bahasa Indonesia
Tulisan Arab
Bahasa Jawa Kuno
Muncul Broadfield: Matematika, IPA, IPS Bahasa Indonesia, Civics menjadi PMP (Pendidikan Moral Pancasila)
4
1984

SMA: Program B (Vokasional) tak dilaksanakan. Jurusan IPS dan Bahasa tetap.
Jurusan IPA di bagi dua: Jurusan ilmu-ilmu fisik dan jurusan ilmu-ilmu hayati. Jurusan Agama untuk Madrasah Aliyah.
Tata Buku. Pendidikan Keterampilan dan Pendidikan Seni tergabung menjadi Pendidikan Kertakes.
Pada Pendidikan Bahasa Indonesia dikenalkan Pragmatic.
Akuntansi, Sosiologi, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), Tata Negara, Muatan Lokal, Keterampilan, Budaya.
5
1994
Program B SMA, Jurusan Ilmu-ilmu Fisik dan Ilmu-ilmu Hayati digabung ke jurusan IPA.
Penjurusan di kelas 3 SMA: IPA, IPS, Bahasa.
Tata buku, Pendidikan Keterampilan dan Pendidikan Seni tergabung menjadi kertakes.
Pada Pendidikan Bahasa Indonesia dikenalkan Pragmatic
PMP menjadi PPKn. B. Indonesia dan B. Inggris menggunakan communicative approach. Muncul bahasa Jepang dan Mandarin.
Muatan Lokal di SD dan SMP.
6
KBK
Jurusan Agama SMA
Penjurusan kembali ke kelas 2 SMA.
Tematik untuk kelas I dan II SD.
PPKn menjadi PKn. Di SMA Antropologi digabungkan ke Sosiologi. Diberi jam untuk pembiasaan di SD dan SMP. Muatal lokal tak ditangani.
Bahasa Inggris SD dan Komputer SD menjadi pilihan. ICT di SMA. Konsep Kimia dimasukkan ke IPA. Konsep Sosiologi dimasukkan ke IPS. Pembiasaan di SD dan SMP.
7
KTSP

Tematik kelas I-III SD.

Antropologi terpisah dari Sosiologi di SMA. IPA dan IPS terpadu di SMP. Muatan Lokal dihidupkan lagi bahkan sampai SMA. Pengembangan Diri (Pembiasaan) bahkan sampai SMA.
Tujuan dan Mata Pelajaran dalam KTSP
Tujuan pendidikan dalam KTSP menggunakan istilah kompetensi. Ada kompetensi lulusan, kompetensi rumpun mata pelajaran, kompetensi mata pe-lajaran, standar kompetensi, dan kompetensi dasar. Telah dijelaskan secara singkat di muka, bahwa untuk kompetensi lulusan dan kompetensi rumpun mata pelajaran akan dicapai oleh sejumlah mata pelajaran. Sedangkan untuk kompetensi mata pelajaran dicapai setelah dicapainya sejumlah kompetensi dasar.
Untuk mencapai kompetensi dasar, setiap kompetensi dasar yang ada dalam mata pelajaran harus diterjemahkan oleh guru di sekolah ke dalam bentuk indikator hasil belajar. Indikator hasil belajar ini merupakan gambaran tentang kemampuan-kemampauan yang lebih kecil, yang akumulasinya membentuk kompetensi dasar. Dengan kata lain indikator hasil belajar ini merupakan tujuan jarak dekat, yang akan dicapai oleh satu kali proses pembelajaran. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa indikator hasil belajar itu analog dengan tujuan pembelajaran khusus.
Diambil dari:
Surya Dharma, MPA., Ph.D. 2008. Pengembangan Mata Pelajaran dalam KTSP. (materi diklat pengawas sekolah). Jakarta:Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional.
Perubahan Kurikulum
Kenapa kurikulum harus berubah ? demikian pertanyaan yang kerapkali dilontarkan orang, ketika menanggapi terjadinya perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia. Jawabannya pun sangat beragam, bergantung pada persepsi dan tingkat pemahamannya masing-masing. Sepanjang sejarahnya, di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan hingga ada kesan di masyarakat bahwa “ganti menteri, ganti kurikulum”.
Perubahan kurikulum pada dasarnya memang dibutuhkan manakala kurikulum yang berlaku (current curriculum) dipandang sudah tidak efektif dan tidak relevan lagi dengan tuntutan dan perkembangan jaman dan setiap perubahan akan mengandung resiko dan konsekuensi tertentu.
Perubahan kurikulum yang berskala nasional memang kerapkali mengundang sejumlah pertanyaan dan perdebatan, mengingat dampaknya yang sangat luas serta mengandung resiko yang sangat besar, apalagi kalau perubahan itu dilakukan secara tiba-tiba dan dalam waktu yang singkat serta tanpa dasar yang jelas.
Namun dalam konteks KTSP, perubahan kurikulum pada tingkat sekolah justru perlu dilakukan secara terus menerus. Dalam hal ini, perubahan tentunya tidak harus dilakukan secara radikal dan menyeluruh, namun bergantung kepada data hasil evaluasi. Mungkin cukup hanya satu atau beberapa aspek saja yang perlu dirubah.
Kita maklumi bahwa semenjak pertama kali diberlakukan KTSP yang terkesan mendadak, kegiatan pengembangan kurikulum di sekolah sangat mungkin diawali dengan “keterpaksaan” demi mematuhi ketentuan yang berlaku, sehingga model yang dikembangkan mungkin saja belum sepenuhnya menggambarkan kebutuhan dan kondisi nyata sekolah. Oleh karena itu, untuk memperoleh model kurikulum yang sesuai, tentunya dibutuhkan perbaikan – perbaikan yang secara terus-menerus berdasarkan data evaluasi, hingga pada akhirnya dapat ditemukan model kurikulum yang lebih sesuai dengan karakteristik dan kondisi nyata sekolah.
Justru akan menjadi sesuatu yang aneh dan janggal, kalau saja suatu sekolah semenjak awal memberlakukan KTSP hingga ke depannya tidak pernah melakukan perubahan-perubahan apapun. Hampir bisa dipastikan sekolah yang demikian, sama sekali tidak menunjukkan perkembangan alias stagnan.
Oleh karena itu, dalam rangka menemukan model kurikulum yang sesuai di sekolah, seyogyanya di sekolah dibentuk tim pengembang kurikulum tingkat sekolah yang bertugas untuk memanage kurikulum di sekolah. Memang saat ini, di sekolah-sekolah sudah ditunjuk petugas khusus yang menangani kurikulum (biasanya dipegang oleh wakasek kurikulum). Namun pada umumnya mereka cenderung disibukkan dengan tugas -tugas yang hanya bersifat rutin dan teknis saja, seperti membuat jadwal pelajaran, melaksanakan ulangan umum atau kegiatan yang bersifat rutin lainnya. Usaha untuk mendesain, mengimplementasikan, dan mengevaluasi serta mengembangan kurikulum yang lebih inovatif tampaknya kurang begitu diperhatikan.
Dengan adanya Tim Pengembang Kurikulum di sekolah maka kegiatan manajemen kurikulum mungkin akan jauh lebih terarah, sehingga pada gilirannya pendidikan di sekolah pun akan jauh lebih efektif dan efisien.


Manajemen Mutu Berbasis Sekolah dan KTSP

Kehadiran KTSP menuntut adanya berbagai perubahan dalam pengelolaan sekolah dan setiap perubahan harus dikelola dengan baik. Prof. Dr. Djam’an Satori, M.A. mengupas tentang manajemen perubahan kaitannya dengan implemenntasi KTSP di sekolah. Ingin mengetahui lebih lanjut silahkan tautan di bawah ini, dan jangan lupa komentar Anda sangat diharapkan.








Panduan Penyelenggaraan SKS

Penyelenggaraan Sistem Kredit Semester (SKS) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di Indonesia saat ini merupakan suatu upaya inovatif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pada hakikatnya, SKS merupakan perwujudan dari amanat Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal tersebut mengamanatkan bahwa “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak, antara lain: (b) mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; dan (f) menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. Amanat dari pasal tersebut selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
Sebagaimana diketahui bahwa Standar Isi merupakan salah satu standar dari delapan Standar Nasional Pendidikan. Standar Isi mengatur bahwa beban belajar terdiri atas dua macam, yaitu: (1) Sistem Paket, dan (2) Sistem Kredit Semester. Meskipun SKS sudah disebut dalam Standar Isi, namun hal itu belum dimuat dan diuraikan secara rinci karena Standar Isi hanya mengatur Sistem Paket. Selengkapnya pernyataan tersebut adalah: “Beban belajar yang diatur pada ketentuan ini adalah beban belajar sistem paket pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sistem Paket dalam Standar Isi diartikan sebagai sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya diwajibkan mengikuti seluruh program pembelajaran dan beban belajar yang sudah ditetapkan untuk setiap kelas sesuai dengan struktur kurikulum yang berlaku pada satuan pendidikan.
Beban belajar setiap mata pelajaran pada Sistem Paket dinyatakan dalam satuan jam pembelajaran.” Beban belajar dengan Sistem Paket hanya memberi satu kemungkinan, yaitu seluruh peserta didik wajib menggunakan cara yang sama untuk menyelesaikan program belajarnya. Implikasi dari hal tersebut yaitu antara lain bahwa peserta didik yang pandai akan dipaksa untuk mengikuti peserta didik lainnya yang memiliki kemampuan dan kecepatan belajar standar. Sistem pembelajaran semacam itu dianggap kurang memberikan ruang yang demokratis bagi pengembangan potensi peserta didik yang mencakup kemampuan, bakat, dan minat.
Berbeda dengan Sistem Paket, beban belajar dengan SKS memberi kemungkinan untuk menggunakan cara yang lebih variatif dan fleksibel sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat peserta didik. Oleh karena itu, penerapan SKS diharapkan bisa mengakomodasi kemajemukan potensi peserta didik. Melalui SKS, peserta didik juga dimungkinkan untuk menyelesaikan program pendidikannya lebih cepat dari periode belajar yang ditentukan dalam setiap satuan pendidikan. SKS dalam Standar Isi diartikan sebagai sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya menentukan sendiri beban belajar dan mata pelajaran yang diikuti setiap semester pada satuan pendidikan. Beban belajar setiap mata pelajaran pada sistem kredit semester dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks). Beban belajar satu sks meliputi satu jam pembelajaran tatap muka, satu jam penugasan terstruktur, dan satu jam kegiatan mandiri tidak terstruktur.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah menyusun “Panduan Penyelenggaraan SKS untuk Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA)”.


Tentang Pengembangan Diri dalam KTSP
A.Pendahuluan
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, pemerintah terus berupaya melakukan berbagai reformasi dalam bidang pendidikan, diantaranya adalah dengan diluncurkannya Peraturan Mendiknas No. 22 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Mendiknas No. 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Untuk mengatur pelaksanaan peraturan tersebut pemerintah mengeluarkan pula Peraturan Mendiknas No 24 tahun 2006.
Dari ketiga peraturan tersebut memuat beberapa hal penting diantaranya bahwa satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, yang kemudian dipopulerkan dengan istilah KTSP. Di dalam KTSP, struktur kurikulum yang dikembangkan mencakup tiga komponen yaitu: (1) Mata Pelajaran; (2) Muatan Lokal dan (3) Pengembangan Diri.
Komponen Pengembangan Diri merupakan komponen yang relatif baru dan berlaku untuk dikembangkan pada semua jenjang pendidikan. Sebagai sesuatu yang dianggap baru, kehadirannya menarik untuk didiskusikan dan diperdebatkan, Sejumlah pertanyaan banyak diajukan diantaranya saja : Apa hakekat Pengembangan Diri itu ? dan Bagaimana pula pelaksanaan kegiatan Pengembangan Diri di sekolah ?
Oleh karena itu, melalui tulisan ini akan dipaparkan secara teoritik tentang hakekat pengembangan diri dan beberapa alternatif pemikiran tentang pelaksanaan kegiatan pengembangan diri di sekolah, untuk dijadikan sebagai salah satu bahan rujukan dalam kegiatan Pengembangan Diri di sekolah-sekolah, sehingga kegiatan Pengembangan Diri di sekolah lebih dapat dipertanggungjawabkan.
B. Hakikat Pengembangan Diri
Penggunaan istilah Pengembangan Diri dalam kebijakan kurikulum memang relatif baru. Kehadirannya menarik untuk didiskusikan baik secara konseptual maupun dalam prakteknya. Jika menelaah literatur tentang teori-teori pendidikan, khususnya psikologi pendidikan, istilah pengembangan diri disini tampaknya dapat disepadankan dengan istilah pengembangan kepribadian, yang sudah lazim digunakan dan banyak dikenal. Meski sebetulnya istilah diri (self) tidak sepenuhnya identik dengan kepribadian (personality). Istilah diri dalam bahasa psikologi disebut pula sebagai aku, ego atau self yang merupakan salah satu aspek sekaligus inti dari kepribadian, yang di dalamnya meliputi segala kepercayaan, sikap, perasaan, dan cita-cita, baik yang disadari atau pun yang tidak disadari. Aku yang disadari oleh individu biasa disebut self picture (gambaran diri), sedangkan aku yang tidak disadari disebut unconscious aspect of the self (aku tak sadar) (Nana Syaodich Sukmadinata, 2005). Menurut Freud (Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, 1993) ego atau diri merupakan eksekutif kepribadian untuk mengontrol tindakan (perilaku) dengan mengikuti prinsip kenyataan atau rasional, untuk membedakan antara hal-hal terdapat dalam batin seseorang dengan hal-hal yang terdapat dalam dunia luar.
Setiap orang memiliki kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-cita akan dirinya, ada yang realistis atau justru tidak realistis. Sejauh mana individu dapat memiliki kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-citanya akan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadiannya, terutama kesehatan mentalnya. Kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-cita akan seseorang akan dirinya secara tepat dan realistis memungkinkan untuk memiliki kepribadian yang sehat. Namun, sebaliknya jika tidak tepat dan tidak realistis boleh jadi akan menimbulkan pribadi yang bermasalah. Kepercayaan akan dirinya yang berlebihan (over confidence) menyebabkan seseorang dapat bertindak kurang memperhatikan lingkungannya dan cenderung melabrak norma dan etika standar yang berlaku, serta memandang sepele orang lain. Selain itu, orang yang memiliki over confidence sering memiliki sikap dan pemikiran yang over estimate terhadap sesuatu. Sebaliknya kepercayaan diri yang kurang, dapat menyebabkan seseorang cenderung bertindak ragu-ragu, rasa rendah diri dan tidak memiliki keberanian. Kepercayaan diri yang berlebihan maupun kurang dapat menimbulkan kerugian tidak hanya bagi dirinya namun juga bagi lingkungan sosialnya.
Begitu pula, setiap orang memiliki sikap dan perasaan tertentu terhadap dirinya. Sikap akan diwujudkan dalam bentuk penerimaan atau penolakan akan dirinya, sedangkan perasaan dinyatakan dalam bentuk rasa senang atau tidak senang akan keadaan dirinya. Sikap terhadap dirinya berkaitan erat dengan pembentukan harga diri (penilaian diri), yang menurut Maslow merupakan salah satu jenis kebutuhan manusia yang amat penting. Sikap dan mencintai diri yang berlebihan merupakan gejala ketidaksehatan mental, biasa disebut narcisisme. Sebaliknya, orang yang membenci dirinya secara berlebihan dapat menimbulkan masochisme.
Disamping itu, setiap orang pun memiliki cita-cita akan dirinya. Cita-cita yang tidak realistis dan berlebihan, serta sangat sulit untuk dicapai mungkin hanya akan berakhir dengan kegagalan yang pada akhirnya dapat menimbulkan frustrasi, yang diwujudkan dalam bentuk perilaku salah-suai (maladjusted). Sebaliknya, orang yang kurang memiliki cita-cita tidak akan mendorong ke arah kemajuan.
Berkenaan dengan diri atau ego ini, John F. Pietrofesa (1971) mengemukakan tiga komponen tentang diri, yaitu : (1) aku ideal (ego ideal); (2) aku yang dilihat dirinya (self as seen by self); dan (3) aku yang dilihat orang lain (self as seen by others). Dalam keadaan ideal ketiga aku ini persis sama dan menunjukkan kepribadian yang sehat, sementara jika terjadi perbedaan-perbedaan yang signifikan diantara ketiga aku tersebut merupakan gambaran dari ketidakutuhan dan ketidaksehatan kepribadian.
Dengan memperhatikan dasar teoritik tersebut di atas, kita bisa melihat arah dan hasil yang diharapkan dari kegiatan Pengembangan Diri di sekolah yaitu terbentuknya keyakinan, sikap, perasaan dan cita-cita para peserta didik yang realistis, sehingga peserta didik dapat memiliki kepribadian yang sehat dan utuh.
C. Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Diri
Secara konseptual, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 kita mendapati rumusan tentang pengembangan diri, sebagai berikut :
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik.
Berdasarkan rumusan di atas dapat diketahui bahwa Pengembangan Diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Dengan sendirinya, pelaksanaan kegiatan pengembangan diri jelas berbeda dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar mata pelajaran. Seperti pada umumnya, kegiatan belajar mengajar untuk setiap mata pelajaran dilaksanakan dengan lebih mengutamakan pada kegiatan tatap muka di kelas, sesuai dengan alokasi waktu yang telah ditentukan berdasarkan kurikulum (pembelajaran reguler), di bawah tanggung jawab guru yang berkelayakan dan memiliki kompetensi di bidangnya. Walaupun untuk hal ini dimungkinkan dan bahkan sangat disarankan untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran di luar kelas guna memperdalam materi dan kompetensi yang sedang dikaji dari setiap mata pelajaran.
Sedangkan kegiatan pengembangan diri seyogyanya lebih banyak dilakukan di luar jam reguler (jam efektif), melalui berbagai jenis kegiatan pengembangan diri. Salah satunya dapat disalurkan melalui berbagai kegiatan ekstra kurikuler yang disediakan sekolah, di bawah bimbingan pembina ekstra kurikuler terkait, baik pembina dari unsur sekolah maupun luar sekolah. Namun perlu diingat bahwa kegiatan ekstra kurikuler yang lazim diselenggarakan di sekolah, seperti: pramuka, olah raga, kesenian, PMR, kerohanian atau jenis-jenis ekstra kurikuler lainnya yang sudah terorganisir dan melembaga bukanlah satu-satunya kegiatan untuk pengembangan diri.
Di bawah bimbingan guru maupun orang lain yang memiliki kompetensi di bidangnya, kegiatan pengembangan diri dapat pula dilakukan melalui kegiatan-kegiatan di luar jam efektif yang bersifat temporer, seperti mengadakan diskusi kelompok, permainan kelompok, bimbingan kelompok, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat kelompok. Selain dilakukan melalui kegiatan yang bersifat kelompok, kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan pula melalui kegiatan mandiri, misalnya seorang siswa diberi tugas untuk mengkaji buku, mengunjungi nara sumber atau mengunjungi suatu tempat tertentu untuk kepentingan pembelajaran dan pengembangan diri siswa itu sendiri.
Selain kegiatan di luar kelas, dalam hal-hal tertentu kegiatan pengembangan diri bisa saja dilakukan secara klasikal dalam jam efektif, namun seyogyanya hal ini tidak dijadikan andalan, karena bagaimana pun dalam pendekatan klasikal kesempatan siswa untuk dapat mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minatnya relatif terbatasi. Hal ini tentu saja akan menjadi kurang relevan dengan tujuan dari pengembangan diri itu sendiri sebagaimana tersurat dalam rumusan tentang pengembangan diri di atas.
Dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan terjadi pengurangan jumlah jam efektif setiap minggunya, namun dengan adanya pengembangan diri maka sebetulnya aktivitas pembelajaran diri siswa tidaklah berkurang, siswa justru akan lebih disibukkan lagi dengan berbagai kegiatan pengembangan diri yang memang lebih bersifat ekspresif, tanpa “terkerangkeng” di dalam ruangan kelas.
Kegiatan pengembangan diri harus memperhatikan prinsip keragaman individu. Secara psikologis, setiap siswa memiliki kebutuhan, bakat dan minat serta karakateristik lainnya yang beragam. Oleh karena itu, bentuk kegiatan pengembangan diri pun seyogyanya dapat menyediakan beragam pilihan.
Hal yang fundamental dalam dalam kegiatan Pengembangan Diri bahwa pelaksanaan pengembangan diri harus terlebih dahulu diawali dengan upaya untuk mengidentifikasi kebutuhan, bakat dan minat, yang dapat dilakukan melalui teknik tes (tes kecerdasan, tes bakat, tes minat dan sebagainya) maupun non tes (skala sikap, inventori, observasi, studi dokumenter, wawancara dan sebagainya).
Dalam hal ini, peranan bimbingan dan konseling menjadi amat penting, melalui kegiatan aplikasi instrumentasi data dan himpunan data, bimbingan dan konseling seyogyanya dapat menyediakan data yang memadai tentang kebutuhan, bakat, minat serta karakteristik peserta didik lainnya. Data tersebut menjadi bahan dasar untuk penyelenggaraan Pengembangan Diri di sekolah, baik melalui kegiatan yang bersifat temporer, kegiatan ekstra kurikuler, maupun melalui layanan bimbingan dan konseling itu sendiri.
Namun harus diperhatikan pula bahwa kegiatan Pengembangan Diri tidak identik dengan Bimbingan dan Konseling. Bimbingan dan Konseling tetap harus ditempatkan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan di sekolah dengan keunikan karakteristik pelayanannya.
Terkait dengan penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah kemungkinan besar akan menggunakan konsep baru menggantikan Pola 17 yang selama ini diterapkan. Ke depannya kemungkinan akan digunakan konsep baru yang lebih dikenal sebutan Bimbingan dan Konseling Komprehensif dan Pengembangan (Developmental and Comprehensive Guidance and Counseling), dimana layanan Bimbingan dan Konseling lebih bersifat menyeluruh (guidance for all) dan tidak lagi terfokus pada pendekatan klinis (clinical atau therapeutical approach) akan tetapi lebih mengutamakan pendekatan pengembangan (developmental approach). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan perbedaan dari kedua pendekatan tersebut adalah :
Pendekatan Pengembangan :
  • Bersifat pedagogis
  • Melihat potensi klien (siswa)
  • Berorientasi pengembangan potensi positif klien (siswa)
  • Menggembirakan klien (siswa)
  • Dialog konselor menyentuh klien (siswa), klien (siswa) terbuka
  • Bersifat humanistik- religius
  • Klien (siswa) sebagai subyek memegang peranan, memutuskan tentang dirinya
  • Konselor hanya membantu dan memberi alternatif-alternatif
Pendekatan Klinis (Model Lama):
  • Bersifat klinis
  • Melihat kelemahan klien
  • Berorientasi pemecahan masalah klien (siswa)
  • Konselor serius
  • Klien (siswa) sering tertutup
  • Dialog menekan perasaan klien
  • Klien sebagai obyek
Dengan demikian, layanan Bimbingan dan Konseling yang memiliki fungsi pengembangan, seperti layanan Pembelajaran, Penempatan dan Bimbingan Kelompok kiranya perlu lebih dikedepankan dan ditingkatkan lagi dari segi frekuensi maupun intensitas pelayanannya.
Dari uraian di atas, tampak bahwa kegiatan pengembangan diri akan mencakup banyak kegiatan sekaligus juga banyak melibatkan orang, oleh karena itu diperlukan pengelolaan dan pengorganisasian tersendiri. Namun secara prinsip, bahwa pengelolaan dan pengorganisasian pengembangan diri betul-betul diarahkan untuk melayani seluruh siswa agar dapat mengembangkan dirinya secara optimal, sesuai bakat, minat, dan kebutuhannya masing-masing dan pengembangan diri menjadi wilayah garapan bersama antara komponen pembelajaran dan komponen Bimbingan dan Konseling di sekolah dengan keunikan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
D. Kesimpulan
Pengembangan Diri di sekolah merupakan salah satu komponen penting dari struktur Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang diarahkan guna terbentuknya keyakinan, sikap, perasaan dan cita-cita para peserta didik yang realistis, sehingga pada gilirannya dapat mengantarkan peserta didik untuk memiliki kepribadian yang sehat dan utuh.
Kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan secara klasikal pada jam efektif, namun seyogyanya lebih banyak dilakukan di luar jam reguler (jam efektif), baik melalui kegiatan yang dilembagakan maupun secara temporer, bersifat individual maupun kelompok.
Pengembangan diri harus memperhatikan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik dan bimbingan dan konseling di sekolah memiliki peranan penting untuk mengidentikasi kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik melalui kegiatan aplikasi instrumentasi dan himpunan data, untuk ditindaklanjuti dalam berbagai kegiatan pengembangan diri.
Kegiatan pengembangan diri akan melibatkan banyak kegiatan sekaligus juga banyak melibatkan orang, oleh karena itu diperlukan pengelolaan dan pengorganisasian disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi nyata di sekolah.
Sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita renungkan ungkapan dari R.F. Mackenzie yang banyak mengilhami ribuan guru di Inggris tentang bagaimana seharusnya proses pendidikan berlangsung, dikaitkan dengan kegiatan pengembangan diri di sekolah :
“ …Kami ingin memberikan kepada siswa-siswa kesempatan untuk menceburkan ke dalam cara hidup yang berbeda, dan kenangan yang bertahan lebih lama. Di sana tidak akan ada paksaan atau keharusan, ketekanan, ketergesaan, atau ujian. Apabila mereka ingin memanjat atau berski, kita akan membantu mereka untuk mendapatkan keterampilan itu. Apabila mereka ingin mengidentifikasi tumbuhan gunung tinggi atau burung, kita akan mengusahakan diperolehnya pengetahuan itu. Dan apabila mereka ingin tidak memiliki kedambaan akan adanya kegiatan atau kehausan akan pengetahuan, tetapi maunya hanya duduk diam seperti kaum penghuni dataran tinggi yang dulunya di sini, atau ingin memandangi awan berarak melaju di atas Creag Dhubh, atau mendengarkan suara rintik hujan yang menitik jatuh di antara cecabang pohon setelah hujan berhenti mengucur, itu semua juga merupakan bagian penting dari perkembangan. Pada saat inilah, ketakutan, ide, harapan, dan pertanyaan yang setengah tenggelam mulai muncul kembali ke permukaan…” (Combie White, 1997).
Sumber Bacaan :
Calvin S. Hall & Gardner Lindzey. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis); Psikologi Kepribadian 1. (terj. A. Supratiknya). Yogyakarta : Kanisius.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,. Jakarta : Depdiknas.
____. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan, Jakarta : Depdiknas.
____, 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah, Jakarta : Depdiknas.
E. Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep,Karakteristik dan Implementasi.Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
———. 2004. Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Pietrefosa, J.F. 1971. The Authentic Counselor. Chicago : Rand McNally College Pub. Co.
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas.
———-, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Rineka Cipta.
Roger Combie White. 1997. Curriculum Innovation; A Celebration of Classroom Practice (Terj. Aprilia B. Hendrijani. Buckingham : Open University Press
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta.
Sudarwan Danim. 2002. Inovasi Pendidikan: Dalam Upaya Meningkatkan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.
Suyanto dan Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan Indonesia Memasuki Millenium III. Yogyakarta : Adi Cita.
*)) Akhmad Sudrajat, M.Pd. adalah Pengawas Bimbingan dan Konseling Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan dan Dosen Pengajar di FKIP – UNIKU



Pengelolaan Kurikulum Sekolah Standar Nasional
Pasal 1 butir 19 Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman menyelenggarakan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum nasional yang bersifat minimal pada dasarnya dapat dimodifikasi untuk melayani kebutuhan siswa yang memiliki kecerdasan dan kemampuan luar biasa.
Namun, pada kenyataannya masih terdapat dua kendala yaitu : 1) Sekolah menjalankan kurikulum nasional yang bersifat minimal tanpa mengolah dan memodifikasi kurikulum guna melayani kebutuhan peserta didik tertentu yang berhak memperoleh pendidikan khusus. 2) ketentuan yang ada belum mengakomodir kebutuhan peserta didik yang berhak memperoleh pendidikan khusus.
Dengan demikian SKM/SSN di SMA adalah kurikulum SMA yang disusun berdasarkan SI dan SKL yang berlaku secara nasional, sehingga lulusan SKM/SSN memiliki kualifikasi dan standar kompetensi sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Setiap guru yang mengajar di Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional perlu terlebih dulu melakukan analisis materi pelajaran untuk menentukan sifat materi yang esensial dan kurang. Suatu materi dikatakan memiliki konsep esensial bila memenuhi unsur kreteria berikut ini : (1) Konsep dasar, (2) Konsep yang menjadi dasar untuk konsep berikut, (3) Konsep yang berguna untuk aplikasi, (4) Konsep yang sering muncul pada Ujian Akhir (Munandar, 2001).
Materi pelajaran yang diidentifikasi sebagai konsep-konsep yang esensial diprioritaskan untuk diberikan secara tatap muka, sedangkan materi-materi yang non-esensial, kegiatan pembelajarannya dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan mandiri (Slameto, 1991).
Berdasarkan paparan di atas dapat dikemukakan bahwa kurikulum dan materi pelajaran yang digunakan dalam penyelenggaraan SKM/SSN adalah kurikulum yang disusun satuan pendidikan dengan pengorganisasian materi kurikulum dibuat menjadi materi umum/wajib dan materi khusus/pilihan. Bentuk pengelolaan yang sesuai dengan uraian di atas adalah kurikulum yang disusun menggunakan pendekatan satuan kredit semester.
Pada penerapan SKS, kurikulum dan beban belajar peserta didik dinyatakan dalam satuan kredit semeser (sks). Mata pelajaran dikelompokkan menjadi tiga, yaitu mata pelajaran umum (MPU), mata pelajaran dasar (MPD), dan mata pelajaran pilihan (MPP). MPU harus diambil oleh semua peserta didik sebagai proses pembentukan pribadi yang memiliki akhlak mulia, kepribadian, estetika, jasmani yang sehat, dan jiwa sebagai warganegara yang baik. MPD harus diambil peserta didik sebagai landasan menguasai semua bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. MPP adalah sejumlah mata pelajaran yang disusun menjadi program bidang tertentu yang dipilih sesuai dengan minat, potensi dan kebutuhan serta orientasi bidang studi di perguruan tinggi. Namun, mata pelajaran dari program tertentu boleh juga diambil oleh peserta didik yang telah memilih program lain untuk memperkaya bidang karirnya.
Mengingat kemungkinan bervariasinya mata pelajaran yang dipilih peserta didik maka sekolah perlu menunjuk petugas pengelola data akademik untuk mendata kemajuan belajar setiap peserta didik dan menyimpannya dengan baik yang dapat dibuka kembali setiap diperlukan. Sekolah mengatur jadwal kegiatan pengganti bagi peserta didik yang pernah absen dan mengatur jadwal kegiatan remidial bagi peserta didik yang belum mencapai kompetensi minimal yang ditetapkan.
Sekolah menunjuk guru sebagai petugas pembimbing akademik yang membina peserta didik maksimum 16 orang setiap guru. Guru pembimbing akademik bertugas membantu peserta didik memilih mata pelajaran yang akan diambil pada suatu semester, memilih program jurusan, dan menyelesaikan persoalan akademik secara umum serta menjawab pertanyaan akademik dari orang tua peserta didik yang menjadi binaannya. Peserta didik yang pada suatu semester memiliki indeks prestasi (IP) tinggi maka pada semester berikutnya diberi kesempatan untuk mengambil beban belajar lebih banyak sehingga dapat mencapai kebulatan studi dalam rentang waktu kurang dari enam semester, dan sebaliknya.
===========
Sumber:
Depdiknas.2008. Model Penyelenggaraan Sekolah Kategori Mandiri /Sekolah Standar Nasional. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Mengah Atas. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah