BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sekolah sebagai tempat penyelenggaran manajemen yang
akuntabel merupakan suatu pranata sosial. Dikatakan sebagai pranata sosial
karena di tempat tersebut teradapat orang-orang dari berbagai latar belakang
sosial yang membentuk suatu kesatuan dengan nilai-nilai dan budaya tertentu.
Nilai-nilai dan budaya tersebut potensial untuk mendukung penyelenggaraan
manajemen sekolah yang akuntabel, tetapi juga sebaliknya bisa menjadi
penghambat. Dalam sebuah ilustrasi perusahaan, Stephen Robins (2001:14)
menyatakan: Artinya, keberagaman tenaga
kerja mempunyai implikasi penting pada praktik manajemen. Para manejer harus
mengubah filosofi mereka dari memperlakukan setiap orang dengan cara yang sama
menjadi mengenali perbedaan dan menyikapi mereka yang berbeda dengan cara-cara
yang menjamin kesetiaan karyawan dan peningkatan produktifitas sementara, pada
saat yang sama, tidak melakukan diskriminasi.[1]
Apa yang dikemukakan Robins berangkat dari asumsi akan perbedaan nilai dan
budaya dari setiap anggota organisasi.
Ada nilai-nilai yang dapat mendukung nilai-nilai organisasi,
tetapi ada juga yang sebaliknya. Dalam konteks ini, dibutuhkan peran pemimpin
untuk dapat mengelolanya. Akuntabel merupakan nilai yang hendak ditegakan
organisasi, apakah anggota organisasi dapat mendukungnya? Menjadi tantangan,
oleh karena latar belakang tadi.
Jadi, faktor yang
mempengaruhi akuntabilitas terletak pada dua hal, yakni faktor sistem dan
faktor orang. Sistem menyangkut aturan-aturan, tradisi organisasi. Sedangkan
faktor orang menyangkut motivasi, persepsi dan nilai-nilai yang dianutnya
mempengaruhi kemampuannya akuntabilitas. Kalau ditelisik lebih jauh faktor
orang sendiri sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan produk dari
masyarakat dengan budaya tertentu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Peran Budaya Organisasi
Pengaruh budaya organisasi terhadap prilaku orgasangat
signifikan. Karena itu menciptan borganisasi yang sifatnya unik setiap
organisasi amatlah Untuk itu amat penting apa budaya organisasi.
Organisasi lembaga pendidikan adalah suatu organisasi
yang unik dan kompleks karena lembaga pendidikan tersebut merupakan suatu
lembaga penyelenggara pendidikan. Tujuannya antara lain adalah menyiapkan
peserta didik menjadi anggota masyaraat yang memiliki kemampuan akademik
dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, memperkya khanazah
ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, serta mengupayakan penggunaannya untuk
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.[2]
Demikian komleksnya organisasi tersebut, maka dalam memberikan layanan
pendidikan kepada siswa khususnya dan masyarakat pada umumnya organisasi perlu
dikelola dengan baik. Oleh sebab itu lembaga pendidikan perlu menyadari adanya
pergeseran dinamika internal (perkembangan dan perubahan peran) dan tuntutan
eksternal yang semakin berkembang.
Ada tujuh karakteristik budaya dasar yang bersifat universal
yaitu:
- Kebudayaan itu dipelajari bukan bersifat instingtif
- Kebudayaan itu ditanamkan
- Kebudayaan itu bersifat gagasan (idetional0, kebiasaan-kebiasaan kelompok yang dikonsepsikan atau diungkapkan sebagai norma-norma ideal atau pola perilaku
- Kebudayaan itu sampai pada suatu tingkat meuaskan individu, memuaskan kebutuhan biologis dan kebutuhan ikutan liannya
- Kebudayaan itu bersifat integratif. Selalu ada tekanan ke arah konsistensi dalam setiap kebudayaan
- Kebudayaan itu dapat menyesuaikan diri.Schein (1985) memberi definisi bahwa budaya organisasi adalah pola asumsi dasar yang telah ditemukan suatu kelompok, ditentukan, dan dikembangkan melalui proses belajar untuk menghadapi persoalan penyesuaian (adaptasi) kelompok eksternal dan integrasi kelompok internal.[3]
B. Budaya Organisasi
Pemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas
dari konsep dasar tentang budaya itu sendiri, yang merupakan salah satu
terminologi yang banyak digunakan dalam bidang antropologi. Dewasa ini, dalam
pandangan antropologi sendiri, konsep budaya ternyata telah mengalami
pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan oleh C.A. Van Peursen (1984) bahwa
dulu orang berpendapat budaya meliputi segala manifestasi dari kehidupan
manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti : agama, kesenian,
filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya[4].
Tetapi pendapat tersebut sudah sejak lama disingkirkan. Dewasa ini budaya
diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok
orang-orang. Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan
sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai sebuah kata
benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan
kegiatan manusia.Dari sini timbul pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu ? Marvin
Bower seperti disampaikain oleh Alan Cowling dan Philip James (1996), secara
ringkas memberikan pengertian budaya sebagai “cara kita melakukan hal-hal di
sini”.
Dari Vijay Sathe dan Edgar Schein, kita temukan kata kunci
dari pengertian budaya yaitu shared basic assumptions atau
menganggap pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa asumsi
meliputi beliefs (keyakinan) dan value (nilai). Beliefs
merupakan asumsi dasar tentang dunia dan bagaimana dunia berjalan. Duverger
sebagaimana dikutip oleh Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000)
mengemukakan bahwa belief (keyakinan) merupakan state of mind (lukisan
fikiran) yang terlepas dari ekspresi material yang diperoleh suatu komunitas.
Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi
manusia untuk melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Sathe dalam
Taliziduhu (1997) nilai merupakan “ basic assumption about what ideals are
desirable or worth striving for.” Sementara itu, Moh Surya (1995)
memberikan gambaran tentang nilai sebagai berikut :
“…setiap
orang mempunyai berbagai pengalaman yang memungkinkan dia berkembang dan
belajar. Dari pengalaman itu, individu mendapatkan patokan-patokan umum untuk
bertingkah laku. Misalnya, bagaimana cara berhadapan dengan orang lain,
bagaimana menghormati orang lain, bagimana memilih tindakan yang tepat dalam
satu situasi, dan sebagainya. Patokan-patokan ini cenderung dilakukan dalam
waktu dan tempat tertentu.”[5]
Pada bagian lain dikemukakan pula bahwa nilai mempunyai
fungsi :
1. nilai sebagai standar;
(2) nilai sebagai dasar penyelesaian konflik dan pembuatan
keputusan;
(3) nilai sebagai motivasi;
(4) nilai sebagai
dasar penyesuaian diri; dan
(5) nilai sebagai
dasar perwujudan diri.
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau
berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi.
Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun
menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah
membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi.
Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic. Menurut
Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic assumptions meliputi
: (1) shared things; (2) shared saying, (3) shared doing;
dan (4) shared feelings.[6]
Pada bagian lain, Edgar Schein (2002) menyebutkan bahwa basic
assumption dihasilkan melalui : (1) evolve as solution to problem is
repeated over and over again; (2) hypothesis becomes reality, dan
(3) to learn something new requires resurrection, reexamination, frame
breaking.
Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas,
selanjutnya kita akan berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi atau
biasa disebut budaya organisasi (organizational culture). Adapun
pengertian organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi
formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi
dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam
rangka mencapai tujuan tertentu.
Sejak lebih dari seperempat abad yang lalu, kajian tentang
budaya organisasi menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan ahli maupun
praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami dan mempraktekkan perilaku
organisasi.
Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap
perubahan, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memilah budaya organisasi
menjadi ke dalam dua tingkatan yang berbeda. Dikemukakannya, bahwa pada
tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama
oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan
meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa
yang penting dalam kehidupan, dan dapat sangat bervariasi dalam perusahaan yang
berbeda : dalam beberapa hal orang sangat mempedulikan uang, dalam hal lain
orang sangat mempedulikan inovasi atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan
ini budaya sangat sukar berubah, sebagian karena anggota kelompok sering tidak
sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka bersama. Pada tingkat yang
terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi,
sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti
perilaku sejawatnya. Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok
telah bertahun-tahun menjadi “pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah
terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu mengenakan pakaian yang sangat
konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk berubah, tetapi
tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar.
Nilai yang dianut bersama : Keyakinan dan tujuan penting yang
dimiliki bersama oleh kebanyakan orang dalam kelompok yang cenderung membentuk
perilaku kelompok, dan sering bertahan lama, bahkan walaupun sudah terjadi
perubahan dalam anggota kelompok.
Contoh: para manajer yang mempedulikan
pelanggan; eksekutif yang suka dengan pertimbangan jangka panjang.
Norma perilaku kelompok : cara bertindak yang sudah lazim atau sudah meresap yang
ditemukan dalam satu kelompok dan bertahan karena anggota kelompok cenderung
berperilaku dengan cara mengajarkan praktek-praktek (juga- nilai-nilai yang
mereka anut bersama) kepada para anggota baru memberi imbalan kepada mereka
yang menyesuaikan dirinya dan menghukum yang tidak.
Contoh: para karyawan cepat menanggapi
permintaan pelanggan; para menajer yang sering melibatkan karyawan tingkat
bawah dalam pengambilan keputusan.[7]
Pada bagian lain, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998)
memaparkan pula tentang tiga konsep budaya organisasi yaitu : (1) budaya yang
kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok; dan (3) budaya adaptif.
Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan
adanya kecenderungan hampir semua manajer menganut bersama seperangkat nilai
dan metode menjalankan usaha organisasi. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai
ini dengan sangat cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi oleh
bawahannya, selain juga oleh bossnya, jika dia melanggar norma-norma
organisasi. Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak
berubah dan akar-akarnya sudah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer.
Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, karyawan cenderung berbaris mengikuti
penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku yang dianut bersama
membuat orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa komitmen dan loyalitas membuat
orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang kuat memberikan struktur dan
kontrol yang dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang
mencekik yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.
C. Proses Pembentukan Budaya Organisasi
Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses
terbentuknya budaya dalam organisasi. Munculnya gagasan-gagasan atau jalan
keluar yang kemudian tertanam dalam suatu budaya dalam organisasi bisa bermula
dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau puncak. Sumber-sumber
pembentuk budaya organisasi, diantaranya : (1) pendiri organisasi; (2) pemilik
organisasi; (3) Sumber daya manusia asing; (4) luar organisasi; (4) orang yang
berkepentingan dengan organisasi (stake holder); dan (6) masyarakat.[8]
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses budaya dapat terjadi dengan cara: (1)
kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (3) penggalian budaya. Pembentukan
budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun memerlukan waktu
dan bahkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai baru dalam
organisasi.
D. Pengembangan Budaya Organisasi di
Sekolah
Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi sebagaimana
telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang
pengembangan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara umum,
penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan
mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan
karakateristik dari para
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya
sangat beragam. Jika merujuk pada pemikiran Spranger, maka setidaknya terdapat
enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah.[9]
Dalam tabel berikut ini dikemukakan
keenam jenis nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya.
Tabel . Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya menurut Spranger
No
|
Nilai
|
Perilaku Dasar
|
1
|
Ilmu Pengetahuan
|
Berfikir
|
2
|
Ekonomi
|
Bekerja
|
3
|
Kesenian
|
Menikmati keindahan
|
4
|
Keagamaan
|
Memuja
|
5
|
Kemasyarakatan
|
Berbakti/berkorban
|
6
|
Politik/kenegaraan
|
Berkuasa/memerintah
|
Sumber : Modifikasi dari Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi
Kepribadian. Jakarta: Rajawali.
Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein,
di bawah ini akan diuraikan tentang karakteristik budaya organisasi di sekolah,
yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (2) norms;
(3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization
climate.
- Obeserved behavioral regularities budaya organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah.
- Norms; budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi tentang standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak.
- Dominant values; jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah.
- Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan.
- Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran.
- Organization climate; budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “oorganizational climate is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is the “atmosphere of the workplace” and people’s perceptions of “the way we do things here
E. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi
di Sekolah
Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama
berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan
kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang
School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi
menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan
motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas
guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L.
Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu :
tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi,
komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah menunjukkan survey terhadap
16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh dari 820 sekolah umum di
Illinois, mereka lebih termotivasi dalam belajarnya dengan melalui budaya
organisasi di sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L.
Thacker and William D. McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar
menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi
siswa.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah
terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah.
Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya
secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna
memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di
sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di
sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai,
keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan
lingkungan belajarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Stephen Stolp. Leadership for School Culture. ERIC
Digest, Number 91. Tahun 1994
Taliziduhu Ndraha. 1997. Budaya
Organisasi. Jakarta : PT Rineka Cipta,
Van Peursen. 1984. Strategi
Kebudayaan. (terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Yayasan Kanisius,
Moh. Surya .1995. Nilai-Nilai Kehidupan
(makalah) . Kuningan : PGRI PD II Kuningan
Taliziduhu Ndraha. 1997. Budaya
Organisasi. Jakarta : PT Rineka Cipta
(sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate
Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo,
h.5)
Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi
Kepribadian. Jakarta : CV Rajawali
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
|
|
………………………………..
|
i
|
DAFTAR ISI
|
|
………………………………..
|
ii
|
BAB I
|
PENDAHULUAN
|
………………………………..
|
1
|
|
A.
Latar Belakang Masalah
|
………………………………..
|
1
|
BAB II
|
PEMBAHASAN
|
………………………………..
|
3
|
|
A.
Pengertian dan Peran Budaya Organisasi
|
………………………………..
|
3
|
|
B.
Budaya Organisasi
|
………………………………..
|
4
|
|
C.
Proses Pembentukan Budaya Organisasi
|
………………………………..
|
10
|
|
D.
Pengembangan Budaya Organisasi di Sekolah
|
………………………………..
|
10
|
|
E.
Arti Penting Membangun Budaya Organisasi di Sekolah
|
………………………………..
|
14
|
DAFTAR
PUSTAKA
|
|
|
|
[3] Taliziduhu Ndraha. 1997. Budaya
Organisasi
[4]
Van Peursen.
1984. Strategi Kebudayaan. (terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Yayasan
Kanisius,
[6] Taliziduhu Ndraha. 1997. Budaya
Organisasi. Jakarta : PT Rineka Cipta
[7] (sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate
Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo,
h.5)
[8] Taliziduhu
Ndraha (1997)
[9] Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi
Kepribadian. Jakarta : CV Rajawali